Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, March 1, 2017

[semacam] Sinopsis Film Devdas (2002)


Shah Rukh Khan dalam Devdas (2002)



“Badi-ma, Dwijdas, Kumud, Padma, Dharamdas, di mana semua orang? Lihat, ini ada surat Devdas. Devdas akan kembali dari London!”
*
“Paro, Devdas akan pulang.”
“Sungguh?”
“Ya, Devdas akan pulang.”
*
“Bodoh, kau menangis? Jangan sampai air mata bahagia memadamkan lampunya sebelum Devdas pulang.”
“Tidak ada kekuatan di bumi ini yang bisa memadamkan lampu ini.”
*
Silsila yeh chaahat ka na maine bujhne diya... hooo... hmmm...
‘Aku tidak akan membiarkan lampu (rindu) ini padam’
Oh piya yeh diya naa bujha hai naa bujhega
‘Oh kasih, lampu ini tidak padam, dan tak akan pernah padam’
Mere chaahat ka diya mere piya ab aaja re mere piya
‘Ini nyala apiku, cintaku, datanglah padaku, cintaku’
*
“Bagaimana kabarmu, Paro? Tidak maukah kau berpaling untuk melihat wajahku? Kita bertemu setelah berhari-hari.”
“Hari? Bagimu, mungkin. Bagiku 10 tahun 6 bulan 4 hari dan 6 jam. Kau tidak merindukanku?”
“Aku merindukanmu.”
*

“Hai, Paro! Pernah sekali saat aku merindukanmu.”
“Kapan?”
“Saat aku bernapas.”
*
Bairi piya bada bedardi, ishq
‘Kekasih pendendam, sangat tak berperasaan’
Oh bairi piya bada bedardi
‘Oh, kekasih pendendam, sangat tak berperasaan’
Dil ka dard na jaane
‘Kamu tidak tahu sakit hatiku’
Saudaai harjaai zulmi ram duhaayi
‘Tidak setia, tidak adil, oh Tuhan’
Kaise kaho kaha se kaho haay ram
‘Bagaimana aku bisa tahu, siapa yang harus aku katakan, ya Tuhan’
Dil ka dard na jaane
‘Kamu tidak tahu sakit hatiku’
Na jaane na jaane na jaane jaane jaane jaane haay
‘Kamu tidak tahu, kamu tidak tahu, kamu tidak tahu’
*

“Tidak, Kaki-ma, tidak ada alasan. Malam ini kau bernyanyi dan menari.”
“Tidak, sayang, bukan aku...”
“Apakah kau malu? Bayangkan saja kau sedang menari di pernikahan Paro.”
“Sekarang aku tidak bisa menolak, kan.”
*
Jamuna ke teer baje mridang
‘Di tepi Sungai Jamuna, drum akan berbunyi’
Kare krishn raaz radha ke sang
‘Krishna akan menari dengan Radha’
*
“Apa ini?”
“Tanda pertunangan, anakku untuk anakmu. Paro dan Devdas.”
“Apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu, Sumitra? Aku mengundang ibu dan anak untuk menghibur tamu-tamuku dengan sedikit tarian dan drama.”
*
“Cukup! Menjawabmu sama saja menjatuhkan martabatku. Dulu kau kupanggil Kakak. Mulai sekarang, cukup Kaushalya!”
*
“Tidak lama lagi kau akan berdiri terpaku menyaksikan kehancuran putramu. Aku bersumpah, putriku akan menikah dengan keluarga yang lebih kaya dari keluargamu.”
*

“Mengapa di sini sekarang?”
“Mengapa sungai mengalir ke laut? Mengapa bunga matahari selalu menghadap matahari? Dan mengapa Paro tidak menghiraukan harga dirinya dan kehormatan keluarganya sehingga aku mau menjelajah di dalam kegelapan malam. Mengapa aku berlindung di kakimu? Untuk semua pertanyaan itu hanya ada satu jawaban.”
“Untuk jawaban yang sama, terlalu banyak pertanyaan yang dikemukakan untuk dijawab.”
“Tidak ada pertanyaan. Tidak, selama kita bersama.”
“Itulah yang tidak mereka inginkan.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Kebahagiaan untukmu. Tetapi, ayahku tidak akan melihatnya melalui cara pandang kita.”
“Kita akan mengalahkan dia.”
“Bagaimana jika dia tidak mengalah?”
“Di mana ada cinta, tidak ada ketakutan.”
“Di mana ada asap, di situ ada api. Dalam api perseteruan, aku tidak ingin kita habis terbakar.”
“Aku sudah hancur, apapun yang terjadi. Apakah itu bersamamu, atau tanpamu.”
*
“Dev pergi, Paro. Ujian yang dihadapinya sama denganmu. Lihatlah sendiri! Mana yang lebih dia pedulikan: kau atau keluarganya? Apakah dia membawamu bersamanya? Atau dia meninggalkanmu? Jika dia tidak membawamu bersamanya, maka kau harus memenuhi permintaan ibumu.”
*
“Berhenti, Deva! Aku takkan membiarkanmu pergi! Berhenti!”
“Menyingkir dari jalanku!”
*

“Chandramukhi.”
*
Dhaai shaam rok lai, aur chakmaka mukh choom lai
‘Khrisna menghentikannya, dia mengejutkan Radha dengan ciuman’
Mukh choom lai....mukh choom lai
‘Dengan ciuman... dengan ciuman’
*

“Dan setelah malam ini, tak seorang pun yang memanggilnya Paro. Hanya Parvati.”
Kaki-ma, Paro hai?”’Bibi, apakah Paro ada?’
“Prosesi pernikahannya sebentar lagi sampai. Kau boleh menemuinya.”
*
“Cukup! Hentikan, Paro! Kesombongan seperti itu tidak baik.”
“Mengapa aku tidak boleh sombong? Kau siapa Dev, selain kaya dan tampan? Aku memiliki kebajikan, kecantikan. Dan setelah malam ini, juga kekayaan. Mulai sekarang, aku melebihi dirimu. Jika kau adalah tuan tanah, aku dengan bangga akan menjadi bangsawan.”
“Sombong sekali. Bahkan bulan pun tidak sesombong itu.”
“Tapi, bulan telah terluka.”
*
“Apa yang telah kau lakukan?”
“Aku telah melukaimu, seperti bulan. Dengan tanda dari cintaku.”
*
Hamesha tumko chaaha, aur chaaha, aur chaaha... chaaha...chaha...
Selalu, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta selamanya...’
Hamesha tumko chaaha, aur chaaha, kuchh bhi nahin...
‘Selamanya aku mencintaimu, dan aku tak mencintai yang lain...’
*
“Kaushalya! Waktu mempermainkan semua orang. Putriku merajut kehidupan yang indah sekarang. Tapi, lihatlah! Lihat anakmu! Adalah kebanggaan yang telah kaubakar. Ada dua babak dalam drama ini. Dalam babak pertama, aku dan putriku menari. Dan di babak kedua, sekarang kau dan anakmu yang akan menari.”
*

“Tapi, orang yang kau tunggu-tunggu tidak tertarik denganmu atau musikmu. Adalah kunang-kunang Paro yang terbang ke dalam apimu sambil berteriak, Paro... Paro... Dia tidak akan kembali Chandramukhi.”
“Dia akan datang, Kali-babu. Kau lihat saja nanti. Hatiku mengatakannya.”
*
Yeh kiski hai aahat
‘Langkah kaki siapa itu’
Yeh kiska hai saaya
‘Bayangan siapa itu’
Huvi dil mein dastak yahan kaun aaya
‘Siapa yang mengetuk pintu hatiku’
*
“Aku minum sehingga aku bisa memaksa diri untuk bisa melihatmu, menerimamu... sehingga aku bisa hilang kesadaran untuk membantuku melupakan Paro. Tapi Chandramukhi, kenangan akan Paro tidak membiarkanku untuk kehilangan kesadaran. Mengapa, setelah aku minum, kenangan dirinya selalu menghantuiku siang dan malam? Mengapa? Mengapa? Mengapa manusia bisa begitu naif? Mengapa membuat kesalahan? Mengapa manusia yang lemah mendapatkan hukuman yang begitu berat? Mengapa? Hanya untuk dihancurkan?”
*

“Apakah kau mencintaiku?”
“Atau kau bisa bertanya kepadaku apakah aku bernapas.”
“Kau bernapas, Chandramukhi? Apa yang akan kau dapatkan dari semua ini? Aku tidak punya rumah, tidak punya hati.”
“Mencintai bukan sekadar menerima. Cinta, telah kuperdagangkan berkali-kali. Tapi dicintai, hanya sekali.”
“Chandramukhi, menuang ke dalam cawan yang terisi penuh, dan apa yang terjadi?”
“Akan tumpah ke tanah.”
“Demikian pula dengan cangkirku yang telah dipenuhi dengan Paro. Lebih dari sekadar tumpah, jatuh, dan dalam kejatuhan akan membawamu juga.”
“Tapi dalam tumpahan itu, anggur pasti telah dibelai oleh cawannya.”
“Lalu tumpah... lagi...”
*

“Lihatlah, Paro! Dirimu apakah ingat? ‘Oh, Deva!’ ‘Ada yang terjadi, Paro?’ ‘Deva, aku kehilangan gelangku, apakah kau melihatnya?’ ‘Tidak, Paro. Aku tidak melihatnya.’ Aku mencurinya. Dan kau tahu mengapa aku melakukannya? Sepanjang hari, suara gemerincing dari gelang kakimu, dan-Deva-ini-dan-Deva-itu, dan ini pancimu, dan ini kenang-kenangan dari cinta kita, perpisahan kita. Kau pergi bergitu saja, itulah akhir dari hubungan kita. Tapi aku masih terikat dengan semua ini, Paro.”
“Dan aku terikat dengan kenanganmu.”
“Apa itu?”
“Beberapa koin.”
“Tiga rupee.”
“Nilainya setara dengan kenangan.”
“Milikku, bukan? Kau pencuri.”
*
“Berjanjilah padaku kau tidak akan minum lagi.”
“Bisakah kau berjanji kau akan melupakanku?”
*
“Aku tidak tahan melihatmu seperti ini. Aku merasa seperti sekarat, Dev. Aku merasa seperti sekarat.”
“Jika merawatku bisa membuatmu bahagia, maka baiklah, aku berjanji, sebelum aku mati, aku pasti akan datang ke depan pintu rumahmu.”
*

“Tak seorang pun di rumah ini yang memahamimu. Kami semua bertanggung jawab untuk kehancuranmu. Sebelum kami membuatmu menjadi lebih buruk lagi, tinggalkan rumah ini.”
“Babu-ji berkata tinggalkan desa, semua orang berkata, tinggalkan Paro. Paro berkata, tinggalkan minuman. Sekarang kau berkata, tinggalkan rumah ini. Suatu hari, Dia akan berkata, tinggalkan dunia ini.”
*

“Dari pandanganmu, kau tidak bisa melihat apa-apa. Dari pandanganku, kau akan menemukannya di mana-mana. Lihat, dia ada di sana, dalam nyala lampu. Di sana dia berbaring, dalam lipatan selimut. Dalam setengah dari cawan itu, rasa hausnya tergeletak, tak terpuaskan. Wangi tubuhnya masih melekat. Ambil semuanya, jika kau mampu. Cahayanya, lipatannya, wangi tubuhnya, semuanya. Semua milikmu. Tapi aku tak bisa memberikan Devdas kepadamu.”
“Kau tulus mencintai Dev?”
“Aku hanya memujanya.”
“Sekarang aku yakin Dev tidak sendirian lagi.”
*

“Dan ada Paro. Dan aku mencintainya. Kau tahu, sangat banyak. Sangat banyak, kan. Paro.... Sekarang dia terasing pula. Tapi ada satu orang, seorang Chandramukhi. Tulus mencintaiku. Tapi... Pendeta, pendeta, bisakah kau melakukan upacara terakhir?”
“Tentu saja. Siapa yang meninggal?”
“Devdas Mukherjee.”
*

Hey dola re dola re dola re dola
‘Aku bergoyang’
Haai dola dil dola mann dola re dola
‘Mengayunkan hatiku’
Hey dola re dola re dola re dola
‘Aku bergoyang’
Haai dola dil dola mann dola re dola
‘Mengayunkan hatiku’
*

“Apa kau memanggilku?”
“Ya, Parvati. Aku ingin tahu...”
“Siapa Devdas? Devdas adalah teman masa kecilku. Dia adalah raga, aku adalah jiwanya. Dia adalah cintaku dan dia adalah kebanggaanku dan dia bersamaku, selalu.”
“Sadarkah kau dengan apa yang kau katakan, Parvati?”
“Sama seperti apa yang kau katakan. ‘Kau sekarang adalah nyonya rumah ini, ibu dari anak-anakku. Tidak diragukan lagi. Tapi Subadra, aku tidak bisa melupakannya.’”
“Subadra adalah istriku.”
“Subadra adalah cinta pertamamu. Devdas adalah cinta pertamaku. Cinta pertama, seperti tahun-tahun yang tidak pernah bisa dihilangkan.”
*
“Kau tidak boleh melangkah keluar dari rumah ini. Itulah hukumanmu.”
*

Dhirk dhirk dil dhirk dhirk dil dhirktha jaaye re
‘Pukullah, pukullah, pukullah hati ini, pukullah’
Dhamk dhamk dham dhamk dhamk dham dhamk dhamk dham jaaye re
Dhamk dhamk dham dhamk mereka berbunyi
*
“Bahkan setetes alkohol adalah racun baginya.”
*
“Apa ini, Chandramukhi? Aku mengumpamakan dirimu sebagai ketabahan. Kau berubah menjadi apa? Boneka lilin? Lihatlah dirimu, meleleh. Akankah kau biarkan lilin mencair dan menyelimutiku dalam kegelapan? Kau melakukan terlalu banyak untukku, Chandramukhi. Satu bantuan lagi. Biarkan aku pergi.”
“Tidak! Kau tidak tahu apa yang kau derita.”
“Kau tahu dan aku yang menderita?”
“Lalu mengapa kau harus?
“Aku harus menghadapi diriku sendiri sebelum aku tersesat.”
“Bolehkah seorang pelayan mengikutimu?”
“Aku tidak tahan melihat kematianku tercermin di matamu.”
*
“Ini untukmu.”
“Tidak Chuni-babu, aku tidak minum.”
“Seseorang telah dipaksa berjanji?”
“Bukan begitu.”
“Kalau begitu lakukan, demi persahabatan.”
*

“Apakah kita sudah sampai?”
“Perjalanan baru saja dimulai. Ada apa denganmu?”
*
“Lebih cepat, tolong.”
*
“Kita sudah sampai di Manikpur sebelum matahari terbit. Siapa yang ingin kau temui di Manikpur?”
*
“Paro... Paro... Aku di sini Paro...”
*
“Ada keramaian apa di luar?”
“Ada orang asing yang tergeletak di sana sepanjang malam. Mungkin sedang sekarat. Jiwa yang malang, pasti datang untuk mengembalikan sesuatu yang dia pinjam dalam hidup ini.”
“Semoga Tuhan menenteramkan jiwanya.”
*
“Tak ada peluang untuk hidup, Mahendra. Dia sedang sekarat.”
*
“Paro...”
*
“Ya Choti-ma, kau memanggilku?”
“Ya, siapa pria yang tergeletak di luar?”
“Seseorang dari desamu. Devdas Mukherjee.”
“Siapa?”
“Devdas Mukherjee.”
*
“Choti-ma, berhenti!”
“Apa yang terjadi dengan Choti-ma?”
“Apa yang terjadi di rumah ini? Mengapa berteriak? Ada apa, Mahendra?”
“Ibu mau keluar untuk menemui orang bernama Devdas.”
“Dia sudah gila. Hentikan dia! Behenti, Parvati! Jangan biarkan dia melangkah keluar dari rumah ini!”
*
“Deva... Oh, Deva... Oh, Deva...”
*
“Berhenti, Babu-ji melarangmu!”
“Deva....”
“Amankan pintunya!”
*
“Deva... Deva... Deva...Deva....”
*
“Paro...”
*
Di mana akan kutemukan kembali
kepolosanku yang hilang,
mimpi-mimpiku yang hilang,
masa kecilku yang hilang
Ke mana perginya bayangan dari sebuah pohon,
di mana aku merasa akan sudah ada di rumah.






0 komentar:

Post a Comment