Menunggu? Ditunggu? |
Sore itu, saat aku duduk santai di teras, Bapak datang, kemudian ikut duduk di kursi sebelah kananku. Untuk sejenak suasana hening. Lalu, Bapak tanya-tanya soal pekerjaan. Lalu....teng...tong.... percakapan sakral antara ayah dan anak terjadi.
“Kalau mau nikah, nikah saja,” ujar Bapak –yang tentu saja dalam bahasa Jawa.
Wah, ini nih. Nyangkut soal jodoh.
“Lha, sudah punya calon belum?”
Pertanyaan yang mau tak mau harus kujawab. Aku pun menjawab dengan jujur.
“Bla...bla...bla...,” jawabku.
“Bla...bli...bli..blu....?” tanya Bapak.
“Bleh...bleh...bleh...,” jawabku.
“Blah...blah...blah...?” tanya Bapak lagi.
“Bla...bli...blu...,” jawabku.
Kamu tidak paham percakapan di atas, ya? Itu rahasia antara ayah dan anak, bukan untuk konsumsi publik. : D
“Aku pengin ganti dulu lantai rumah dengan keramik,” kataku memberi alasan.
“Sebentar...sebentar. Lha, kamu niatnya mau tinggal di mana?” tanya Bapak.
Bapak sudah tahu kalau aku memang berniat tidak tinggal di rumah ini, tetapi mencari rumah baru. Beli atau ngontrak lah, yang penting bisa tinggal berdua saja dengan istri. Ahaha....
“Enggak. Pengin bei rumah sendiri aja atau ngontrak,” ujarku.
“Berarti kamu nggak usah mikirin mau memperbaiki rumah ini.”
Mungkin kamu sudah paham maksud Bapak. Begitulah orang tua, tidak mau menyusahkan anaknya. Bapak hanya ingin aku segera menikah, segera bahagia.
“Kan, biar keliatan pantas, Pak,” kataku.
“Nggak perlu.”
Lantai rumahku berupa tegel, belum keramik. Aku ingin menggantinya dengan keramik agar keliatan lebih bersih dan lebih pantas dipandang. Belum lama juga aku memperbaiki kamar mandi dan memasanginya keramik. Mungkin itulah, Bapak tidak ingin aku mengeluarkan uang lagi hanya untuk memperbaiki rumah.
“Biarlah rumah ini seperti ini. Tidak perlu bagus-bagus,” kata Bapak.
Lalu meluncurlah nasehat Bapak yang emejing, nasehat yang biasa diucapkan oleh para ustadz atau para motivator di tipi itu.
Begini nasehat Bapak –sekali lagi, yang aslinya dalam bahasa Jawa.
“Tidak perlu terlihat lebih bagus. Biar apa adanya. Tidak usah berusaha tampil lebih bagus buat mertua atau calon istri. Apa adanya saja. Biar calonmu bisa menerima apa adanya. Cari yang mau nerima apa adanya. Gitu.”
Sungguh, aku terpesona dengan nasehat Bapak. Jangan-jangan Mario Teg** itu pinter ngomong karena belajar dari Bapak. Lha, Bapak itu dalam keseharian bergaul dengan tetangga sering cengengesan, bergurau, ramah, murah senyum dan tawa. Kali ini bisa serius memberi nasehat yang nendang gitu. Bapak asli Bapak, kan, bukan orang lain yang sedang menyamar?
Itulah inti dari nasehat Bapak tentang mencari jodoh: cari orang yang mau menerimaku apa adanya. #Eh,kamumaumenerimaakuapaadanya,kan : )
***
Sukoharjo, 5 Januari 2015
0 komentar:
Post a Comment