Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, January 12, 2016

Perjuangan Membeli Kitab Tafsir Ibnu Katsir 10 Jilid

Di antara buku-buku koleksiku yang memerlukan perjuangan dalam membelinya, salah satunya ialah kitab tafsir Ibnu Katsir.

Aku berpikir: penting bagi seorang muslim untuk mempelajari Al-Quran. Selain membaca dan menghafalkannya, tentu perlu memahami maknanya. Salah satu cara memahami makna Al-Quran adalah dengan mempelajari kitab-kitab tafsir yang telah ditulis ulama.

Ada banyak kitab tafsir Al-Quran, baik yang ditulis ulama salaf maupun khalaf. Aku memilih untuk membeli yang tulisan ulama salaf. Pertimbangannya, aku ingin memiliki 1 kitab tafsir yang bisa menjadi rujukan.

Dari beberapa kitab tafsir, aku memilih karya Ibnu Katsir. Kitab yang diberi nama Tafsirul Quranil Adzim ini mendapat banyak pujian dan direkomendasikan banyak ulama. Aku harus memilikinya, begitu pikirku saat masih kuliah dulu.

Tentu yang kubeli versi terjemah bahasa Indonesia, terbitan Pustaka Imam Syafii yang kupandang memiliki kredibilitas dalam penerbitan kitab terjemahan. Dalam 1 paket kitab Tafsir Ibnu Katsir ada 10 jilid. Harga per jilidnya seratus ribu rupiah, belum diskon.

Saat kuliah dulu, aku bertekad akan membelinya meskipun dengan cara membeli satu per satu jilid, tidak 10 jilid sekaligus. Maklum, dulu buat bayar SPP saja aku ngos-ngosan. Aku dan orangtuaku mesti berusaha keras membayar SPP. Orangtuaku menggarap sawahnya, sedangkan aku berusaha dalam bidang desain grafis dan percetakan.

Aku membeli 1 jilid kitab Tafsir Ibnu Katsir setiap bulan, meski kadang taktentu juga. Aku biasanya menyambangi pameran buku untuk membeli 1 jilid, biasanya mendapatkan diskon 20% atau 25%. Jika sedang tak ada pameran buku, aku pergi ke toko buku langganan di Cemani.

Pernah suatu kali aku jalan-jalan di pameran buku. Kitab Tafsir Ibnu Katsir terpampang di sebuah stand. Aku ingin sekali membelinya 1 jilid, namun aku sedang tak punya uang. Aku pun meminjam uang kepada salah seorang teman, lalu membeli kitab 1 jilid itu.

Dengan mencicil satu per satu selama berbulan-bulan, akhirnya jilid 1 hingga 10 kitab Tafsir Ibnu Katsir aku miliki. Tahu bagaimana rasanya? Puas. Aku merasa puas.

Sekarang, jika melihat kitab Tafsir Ibnu Katsir yang terpampang di rak bukuku, aku teringat bagaimana perjuangan dahulu saat membelinya. Oleh karena itu, kitab ini begitu istimewa.

Yang selanjutnya harus kulakukan terhadap kitab Tafsir Ibnu Katsir adalah mempelajarinya. Mendarasnya lembar per lembar. Menulis ringkasannya untuk memperkuat pemahaman. Dan, mungkin akan mengunggah ringkasan tersebut di internet (blog umar-alkasidi.blogspot.com) agar orang lain dapat mengambil manfaatnya.

***
Sukoharjo, 13 Januari 2016

Saturday, January 9, 2016

7 Alasan Mengapa Aku Berjualan Buku


Beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang bertanya: mengapa di Instagram-ku banyak unggahan foto buku?
"Karena aku berjualan buku," jawabku.


Ya, beberapa bulan terakhir aku memiliki hobi baru: berjualan buku. Ada beberapa alasan mengapa aku berjualan buku.

1. Hobi yang Menyenangkan
Berjualan buku bagiku merupakan sebuah hobi. Hobi kan biasanya bertujuan untuk menyenangkan hati yang dilakukan dalam waktu senggang.

Setiap orang yang melakukan aktivitas hobinya, hatinya akan senang. Begitu pun diriku. Aku merasa senang bisa berjualan buku. Mengapa? Alasannya di bawah ini.

2. Aku Senang Bergaul dengan Buku

Aku suka buku. Koleksi bukuku sudah lumayan banyak. Mungkin seribu buku. Interaksiku dengan buku yaitu dengan membacanya --yang akhir-akhir ini waktu khusus membaca buku terasa kurang.

Aku suka menghidu aroma buku baru. Setiap membeli buku baru, seringnya aku mendekatkan buku itu di depan hidung. Lalu terciumlah aroma buku yang khas.

Di kamarku, sebagian besar bukuku tertata di rak. Sebagaian yang lain bersemayam dalam kardus karena keterbatasan rak buku. Sesekali aku melihat-lihat koleksi bukuku yang berbaris rapi di rak. Lalu, timbul semacam perasaan tenteram, tenang, bahagia di dalam hati. Mungkin ini agak aneh. Namun, kenyataanya perasaanku membaik ketika memandang buku-buku.

Dengan berjualan buku, otomatis alu akan sering berinteraksi dengan buku. Mulai dari membelinya, mengunggahnya di internet, menuliskan identitas dan deskripsinya, sampai mengirimkannya kepada pembeli. Itu aktivitas yang membuat aku senang.

3. Bisa Sering Piknik ke Toko Buku

Dulu, biasanya ada beberapa orang yang nitip beli buku saat aku ke toko buku. Aku merasa senang dititipi seperti itu. Meskipun membelikan untuk orang lain, namun kenikmatan mencari dan membeli buku tetap ada.

Bagiku, toko buku memang tempat rekreasi. Tempat untuk menghibur hati. Dengan melihat-lihat buku-buku yang terpajang, hatiku merasa senang.

4. Bisa Berinteraksi dengan Sesama Pecinta Buku
Orang yang membeli buku pasti membutuhkan buku itu sebagai bahan bacaan. Interaksi sesama pembaca buku ini menimbulkan kesenangan tersendiri.

Berjualan buku juga membawaku mengenal orang-orang sesama penjual buku di dunia maya. Aku perhatikan hampir semua penjual buku di daring adalah pecinta buku.

Para penjual buku itu, rata-rata para pemikir, peminat ilmu, intelektual kampus, juga penulis, dan pengusaha. Aku mendapat banyak manfaat dari pertemanan dengan mereka. Wawasanku lebih terbuka.

Berteman dengan para penjual buku lain, membuatku berminat membeli buku-buku yang ditawarkan. Banyak buku dengan tema menarik yang menggoda diri untuk membelinya.

Buku-buku baru dengan tema yang selama ini belum kujamah, akhirnya kucicipi juga. Dan aku membatin, ke mana saja aku selama ini hingga tak mencicipi buku-buku bagus itu. Lalu, aku semakin sadar betapa aku selama ini bodoh. Dan betapa bahagianya menyadari bahwa diri ini bodoh.

5. Memberi Manfaat bagi Orang Lain
Aku membaca buku dan aku memetik banyak manfaatnya. Aku pun ingin orang lain juga bisa mengambil manfaat dari membaca buku. Apatah lagi, minat baca di Indonesia ini tergolong rendah. Rata-rata negara maju, masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi.

Minat baca yang tinggi sebenarnya juga terdapat di pesantren yang para santrinya mesti membaca beberapa kitab yang diwajibkan oleh gurunya. Kita bisa melihat kultur pesantren seperti ini melahirkan para santri yang cerdas.

Salah satu untuk meningkatkan minat baca masyarakat yaitu dengan mendekatkan buku kepada mereka. Aku menyadari bahwa sebagian besar orang enggan ke toko buku untuk membeli buku. Jika tak membeli buku, mereka tidak akan membaca buku.

Dengan memudahkan pembelian buku --melalui jaringan internet (e-commerce)-- aku berharap semakin banyak orang yang membeli dan membaca buku. Harapannya, "Buku adalah jendela ilmu" tidak hanya menjadi slogan kosong semata.

6. Mendapatkan Keuntungan Materi
Tak banyak memang hasil yang didapatkan dari berjualan buku. Selain sebagai "pemain baru" dalam dunia jual-beli buku, aku pun berjualan buku hanya dalam waktu-waktu luang saja. Dan memang, mendapatkan materi bukanlah tujuan pokok dalam berjualan buku.

Ada beberapa orang yang memang sukses dalam berjualan buku. Misalnya, seorang mahasiswa Jogja yang dari hasil berjualan buku bisa membiayai kuliahnya, membiayai adiknya sekolah, dan mengirimi orang tuanya uang setiap bulan.

Aku, tak seberapa mendapatkan keuntungan dari berjualan buku.
Hasil yang tak seberapa itu tetap saja membuatku merasa senang. Aku bisa mendapatkan keuntungan dari dunia yang kusukai, dunia buku.

7. Buku untuk Buku
Setiap bulan aku membeli buku. Mesti ada anggaran khusus untuk membeli buku. Nominalnya bisa sampai ratusan ribu rupiah. Membeli buku menjadi semacam kebutuhan pokok bulanan.

Dengan berjualan buku, aku mendapatkan hasil yang bisa aku gunakan untuk membeli buku. Menjual buku untuk membeli buku. Buku untuk buku.
***

Itulah beberapa alasan aku berjualan buku. Aku mendapatkan banyak manfaat dari sekadar materi.

Yang penting, apapun yang kita lakukan mestinya bisa membuat kita senang, kan.
**

Sukoharjo, 10 Januari 2016
Ditulis dini hari saat insomnia melanda














 



Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi

KALENDER
Setiap akhir tahun biasanya aku mendesain kalender untuk beberapa pemesan. Tak banyak memang, tapi hasilnya bisalah buat beli cilok di alun-alun selatan Keraton Solo. Soal mendesain kalender ini, sering aku melihat angka-angka di tiap bulannya. Khususnya, angka yang berwarna merah. Katakanlah, aku ini pecinta angka merah di kalender.

Soal kalender pula, jadi ingat guyonan gini, "Ada nggak kalender yang ada tanggal nikahnya?"
***

UNDANGAN NIKAH
"Desain undangnnya jos tenan, Mas," begitu bunyi SMS seseorang --yang mungkin adalah teman dari orang yang memesan undangan nikah kepadaku. Saat ada orang yang "memergoki" aku sedang mendesain undangan nikah, biasanya mereka --tanpa diminta-- akan memberi komentar, bagus atau tidak, kurang ini, kurang itu.

Yang paling nganyeli itu kalau ada orang berkomentar bahwa desain ini kurang ini, harusnya begitu, warnanya nggak cocok, coba ganti warna, tambahi gambar ini. Padahal, ia sendiri bukan seorang desainer grafis. Kalau sudah anyel digitukan, aku akan bilang, "Kalau gitu sini kamu yang mendesain saja." Tapi itu hanya dalam batinku saja.

Dan komentar yang sering terlontar yaitu, "Sering bikin undangan nikah buat orang lain. Kapan bikin undangan nikah buat sendiri?"
Kalau sudah begitu, aku pun berdiri, mengembangkan sayap, lalu terbang menuju bulan.
***

PUISI
Mungkin puisi terbagus yang pernah kutulis --menurutku-- ialah puisi berjudul "Jomblo Akhir Tahun", sebuah puisi plesetan dari "Hujan Bulan Juni"-nya SDD.

Dulu ada masanya aku sering menulis puisi picisan. Atau berbalas puisi singkat dengan seseorang melalui SMS.

Lebih sering, aku menjadi penikmat puisi saja. Membaca puisi karya orang lain, mendengarkan pembacaan puisi. Menikmati musikalisasi puisi kala hujan gerimis.

***
Hari sudah semakin siang. Segera saja laptop kututup, lalu berangkat kerja: cari rezeki biar bisa beli cilok, sisanya buat beli buku puisi, sisanya lagi ditabung biar bisa bikin undangan nikah sendiri.

*Cerpen karya Gunawan Tri Atmodjo di basabasi[dot]co di tautan ini terasa begitu dekat.
http://basabasi.co/kalender-undangan-nikah-dan-puisi/

Friday, January 8, 2016

Piknik Bareng Ibu

Seorang muridku mengirimi foto diriku saat kegiatan outingclass di Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta. Dalam foto itu aku duduk menyilakan kaki i atas rumput lapangan. Di belakang terlihat sebuah mobil. Dan yang membuat foto itu agak gimana gitu yaitu ekspresi wajahku yang terlihat seperti sedang memikirkan masalah perang nuklir. Ekspresi orang yang lagi mikir dalem.

Aku pun bingung mau memberi caption apa foto itu saat akan kuunggah di Instagram. Karena nggak ada ide untuk menulis caption, alhirnya menulis cerita tentang aktivitasku hari itu.

Begini ceritaku.

***
Tadi malam aku berniat menonton Star Wars. Itu lho film orang main pedang-pedangan di angkasa pakai tongkat tukang parkir.

Niat nonton itu cancelled. Aku berpikir, daripada buat nonton, lebih baik uangnya aku gunakan buat ngajak keponakan jalan-jalan, sama ibu juga. Mumpung keponakan yang SMA dan yang TK lagi libur akhir semester.

Aku sudah sering nonton film, sering pula jalan-jalan sendiri atau sama temen. Tapi, betapa jarangnya aku jalan-jalan bersama ibu. Ya ampun, sudah berapa tahun aku tidak piknik bareng keluarga.

Finally, aku putuskan buat jalan-jalan ke Air Terjun Jumog. Selain lokasinya tak terlalu jauh, tempatnya asyik buat bermain air. Keponakanku yang TK pasti seneng.

Hari ini, setelah paginya berenang di Umbul Ponggok bersama murid-murid kelas IX SMPIT, aku bersama ibu dan keluarga kakakku berangkat ke Air Terjun Jumog. Naik sepeda motor saja, tiga jumlahnya. Nggak jauh, kok. Lagipula, kalau mau pakai mobil, punya siapa.

Aku memboncengkan ibu. Pelan-pelan saja jalannya, 40 - 50 km/jam. Selayaknya orangtua, ibu khawatir kalau naik motor terlalu cepat resikonya kecelakaan.

Di Jumog, yang paling senang tentu saja keponakanku yang TK itu. Ia semangat sekali jalan ke sana kemari. Lalu ia nyemplung, bermain air di kolam dangkal yang dingin airnya. Beberapa lama kemudian badannya menggigil.

Seneng rasanya melihat tingkah bocah lucu itu. Begitu pula ibu, pasti juga senang melihat cucunya wira-wiri dengan wajah dan senyum riang.

Aku belum bisa memberikan banyak kebahagiaan pada ibu. Aku berharap bisa memiliki banyak waktu dengan ibu. Memberi banyak kebahagiaan untuk ibu nantinya.

Aku punya niat mengajak ibu jalan-jalan ke pantai, insya Allah. Biar ibu bisa melihat lautan secara langsung, sedangkan selama ini ibu melihat laut hanya melalui layar televisi.

Dan untuk jalan-jalan ke pantai tentu menggunakan mobil, bukan sepeda motor. Ah, tapi mobilnya siapa. Rezeki Allah yang ngatur, siapa tahu aku bisa membeli mobil. Lalu dengan mobil itu aku akan sering-sering mengajak ibu jalan-jalan.
***

Sukoharjo, 22 Desember 2015

----------------------------------------------------
*Cerita ditulis dan diunggah di Instagram serta Facebook pada tanggal 22 Desember 2015.
*Diunggah di blog pada tanggal 8 Januari 2016.

Monday, January 4, 2016

Nasehat Bapak dalam Mencari Jodoh

Menunggu? Ditunggu?
Pada suatu hari di negeri antah berantah –serasa kayak dongeng—aku duduk santai di teras rumah sambil menikmati angin sore yang menggoyang dedaunan pohon mangga. Memang biasanya ketika waktu senggang, atau ketika ingin istirahat, aku duduk-duduk di kursi teras rumah, sekadar membuka aplikasi medsos, membaca buku, atau ngopi.

Sore itu, saat aku duduk santai di teras, Bapak datang, kemudian ikut duduk di kursi sebelah kananku. Untuk sejenak suasana hening. Lalu, Bapak tanya-tanya soal pekerjaan. Lalu....teng...tong.... percakapan sakral antara ayah dan anak terjadi.

“Kalau mau nikah, nikah saja,” ujar Bapak –yang tentu saja dalam bahasa Jawa.
Wah, ini nih. Nyangkut soal jodoh.
“Lha, sudah punya calon belum?”

Pertanyaan yang mau tak mau harus kujawab. Aku pun menjawab dengan jujur.
“Bla...bla...bla...,” jawabku.
“Bla...bli...bli..blu....?” tanya Bapak.
“Bleh...bleh...bleh...,” jawabku.
“Blah...blah...blah...?” tanya Bapak lagi.
“Bla...bli...blu...,” jawabku.

Kamu tidak paham percakapan di atas, ya? Itu rahasia antara ayah dan anak, bukan untuk konsumsi publik. : D

“Aku pengin ganti dulu lantai rumah dengan keramik,” kataku memberi alasan.
“Sebentar...sebentar. Lha, kamu niatnya mau tinggal di mana?” tanya Bapak.

Bapak sudah tahu kalau aku memang berniat tidak tinggal di rumah ini, tetapi mencari rumah baru. Beli atau ngontrak lah, yang penting bisa tinggal berdua saja dengan istri. Ahaha....

“Enggak. Pengin bei rumah sendiri aja atau ngontrak,” ujarku.
“Berarti kamu nggak usah mikirin mau memperbaiki rumah ini.”

Mungkin kamu sudah paham maksud Bapak. Begitulah orang tua, tidak mau menyusahkan anaknya. Bapak hanya ingin aku segera menikah, segera bahagia.

“Kan, biar keliatan pantas, Pak,” kataku.
“Nggak perlu.”

Lantai rumahku berupa tegel, belum keramik. Aku ingin menggantinya dengan keramik agar keliatan lebih bersih dan lebih pantas dipandang. Belum lama juga aku memperbaiki kamar mandi dan memasanginya keramik. Mungkin itulah, Bapak tidak ingin aku mengeluarkan uang lagi hanya untuk memperbaiki rumah.

“Biarlah rumah ini seperti ini. Tidak perlu bagus-bagus,” kata Bapak.
 

Lalu meluncurlah nasehat Bapak yang emejing, nasehat yang biasa diucapkan oleh para ustadz atau para motivator di tipi itu.

Begini nasehat Bapak –sekali lagi, yang aslinya dalam bahasa Jawa.
“Tidak perlu terlihat lebih bagus. Biar apa adanya. Tidak usah berusaha tampil lebih bagus buat mertua atau calon istri. Apa adanya saja. Biar calonmu bisa menerima apa adanya. Cari yang mau nerima apa adanya. Gitu.”

Sungguh, aku terpesona dengan nasehat Bapak. Jangan-jangan Mario Teg** itu pinter ngomong karena belajar dari Bapak. Lha, Bapak itu dalam keseharian bergaul dengan tetangga sering cengengesan, bergurau, ramah, murah senyum dan tawa. Kali ini bisa serius memberi nasehat yang nendang gitu. Bapak asli Bapak, kan, bukan orang lain yang sedang menyamar?

Itulah inti dari nasehat Bapak tentang mencari jodoh: cari orang yang mau menerimaku apa adanya. #Eh,kamumaumenerimaakuapaadanya,kan : )

 

***
Sukoharjo, 5 Januari 2015

Saturday, January 2, 2016

7 Derita Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Karena menanggung banyak derita, mahasiswa PBSI harus sering-sering piknik.
Aku lulusan program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID), FKIP, UMS tahun 2012. Membaca porgram studi itu kadang aku bingung sendiri. Intinya itu jurusan buat belajar menjadi guru Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah (Bahasa Jawa). Untungnya, sekarang Daerah-nya dihapus, jadi PBSI: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lebih enak terdengar.

Oya, aku lulus S1 setelah menyelesaikan kuliah selama 4 tahun 5 bulan. Ada cerita khusus tentang hal itu nantinya.

Kali ini akan kubagikan pengalaman suka duka menjadi mahasiswa PBSI. Apa yang akan kusampaikan hanyalah dari sudut pandangku saja. Super subyektif jadinya. : D

Inilah beberapa derita menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
.

1. Dipandang Sebelah Mata
Banyangkan dialog seperti ini saat reuni dengan teman-teman SMP atau SMA.

“Hai, sekarang kuliah di mana? Ambil jurusan apa?”
“Bahasa Inggris,” jawab seorang temanmu.
“Wow, hebat.”

“Matematika.”
“Kamu emang pinter sejak SMP.”

“Teknik Informasi dan Komunikasi.”
“Wah, mau jadi master komputer atau internet, nih.”

“Kedokteran.”
“Hebat banget kamu.”

“PGSD.”
“Sekarang memang lagi dibutuhkan banyak guru SD. Gampang cari kerja nanti.”

Terus tiba giliran kamu menjawab, “Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.”
“Oh...” jawab teman-temanmu yang lalu memalingkan muka atau mengalihkan topik pembicaraan.
Ugh, sakit kan digituin. Serasa kamu menjadi makhluk asing di antara teman-temanmu. Lalu kamu berkhayal seandainya kamu tidak tinggal di planet Bumi.

2. Sering Diolok-olok
 

Ini ibu Budi. Itulah kalimat yang teringat saat orang mendengar pelajaran Bahasa Indonesia. Memori itu begitu kuat melekat bagi generasi yang melalui masa SD pada tahun 1990an - 2000.

Saat kamu katakan kamu kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, otomatis otak teman-temanmu memutar ulang memori masa SD dulu: Ini ibu Budi. Dengan santai dan tanpa merasa dosa mereka berceloteh, “Bahasa Indonesia kan gampang, Ini ibu Budi. Masa pakai kuliah segala.”

Ejekan yang lain yaitu, “Orang Indonesia kok belajar Bahasa Indonesia. Haha....”
Mendengar ejekan seperti itu mungkin kamu emosi, lalu tubuhmu bergetar --kebetulan juga pas bulan purnama-- hingga kamu pun berubah menjadi werewolf: mengamuk mengoyak-oyak seisi kampus. #cukup, hentikan imajinasi liarmu. 


3. Tidak Punya Prospek
Kuliah di Kedokteran, pasti jadi dokter. Pekerjaan yang prestisius dengan gaji yang melimpah. Begitu juga jurusan yang lain yang hampir semuanya memiliki prospek pekerjaan yang bagus setelah lulus, termasuk jurusan pendidikan atau guru, kecuali...... (ada kecuali-nya, dengan pembacaan ditekan pada kata kecuali), kecuali guru Bahasa Indonesia.

Guru Bahasa Indonesia itu tidak penting. Orang sudah banyak yang bisa membaca. Apalagi SMP atau SMA. Jadi, SMP dan SMA tidak membutuhkan guru Bahasa Indonesia. Begitulah anggapan sebagian orang-orang.

Guru Matematika, dari TK sampai SMA, membutuhkannya. Juga IPA dan Bahasa Inggris. Tapi kalau guru Ini ibu Budi? Hahaha.... mengajar SD kelas satu atau dua saja.

Di luar sekolah, banyak ditawarkan les Matematika, les IPA, les Bahasa Inggris. Bahkan, les melukis serta les bermain gitar dan piano saja ada. Lha, les Bahasa Indonesia? Hahaha... mimpi...

Begitu. Kata sebagian orang-orang. Kamu jangan emosi lagi, sekarang tidak sedang bulan purnama, lho.

4. Belajar Lagi Cara Mengucapkan Huruf yang Benar

Jangan heran jika mahasiswa PBSI berlatih mengucapkan huruf dari a-z, persis kayak anak TK. Bedanya, ditambahi pengetahuan asal bunyi huruf tersebut, sebelas duabelas lah dengan ilmu makhorijul huruf saat belajar bahasa Arab.

Oya, aku belum menyebut bahwa setiap mahasiswa selain memahami, juga harus menghafalkanya. Aku kasih sedikit bocoran materinya seperti ini:

Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi oral (contohnya [p], [g], [f]), bunyi bahasa yang arus udaranya keluar dari hidung disebut bunyi sengau / nasal (contohnya [m], [n], [ñ], [ŋ]). Bunyi bahasa yang arus udaranya sebagian keluar melalui mulut dan sebagian keluar dari hidung disebut bunyi yang disengaukan / dinasalisasi.
-----
Bunyi konsonan dapat diperikan berdasarkan artikulator dan daerah artikulasinya. Penamaan bunyi dilakukan dengan menyebutkan artikulator yang bekerja : labio- (bibir bawah), apiko- (ujung lidah), lamino- (daun lidah), dorso- (belakang lidah), dan radiko- (akar lidah), diikuti oleh daerah artikulasinya : -labial (bibir atas), -dental (gigi atas), -alveolar (gusi), -palatal (langit-langit keras), -velar (langit-langit lunak), -uvular (anak tekak).
---
Bila udara dari paru-paru dihambat secara total, maka bunyi yang dihasilkan dinamakan bunyi hambat (contohnya bunyi [p] dan [b]). Apabila arus udara melewati saluran yang sempit, maka akan terdengar bunyi desis, disebut bunyi frikatif (contohnya bunyi [f]). Apabila ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah, disebut bunyi lateral (contohnya bunyi [l]). Apabila ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-ulang, disebut bunyi getar (contohnya bunyi [r]).
---
Contohnya, huruf [f] termasuk bunyi labio-dental geseran (frikatif).
Sudah, segitu saja bocoran materi yang harus dihafal dan dipahami oleh mahasiswa PBSI karena aku yakin pikiranmu sudah ruwet membaca yang sedikit itu. Lanjut....

5. Disuruh Menulis Ringkasan Buku Bacaan

Mungkin cuma di jurusan PBSI ada dosen yang menyuruh mahasiswanya meringkas seluruh isi buku bacaan. Mending sih kalau meringkasnya dengan diketik. Yang bikin gregetan dan gemes maksimal sama dosennya itu kalau tugas meringkasnya ditulis tangan di buku tulis. Ini fakta. Mungkin hal ini bisa dimasukkan dalam jajaran 100 kejadian unik di dunia, dan kejadian ini menempati urutan lima besar.

Lalu, jika sudah selesai meringkas, disodorkan kepada dosen. Dosen melihat-lihat sebentar (katakanlah 4 sampai 5 detik) lalu ditanda tangani di bagian akhir ringkasan. Kamu membatin, ya ampuuunnnn, aku nulisnya berhari-hari, menghabiskan berlembar-lembar buku tulis, sampai rambutku keriting gini (bukannya kamu udah keriting dari lahir? Oh, iya, lupa), cuma dilihat sekilas dan ditanda tangani gitu tok. Nggak rela aku, Pak. Aku kan sudah berjuang mati-matian buat ngedapatin kamu, masa kamu cuma mengabaikan gitu. #Okey, ini mulai agak lebay.

6. Disuruh Membaca Novel yang Segede Bantal dengan Bahasa Langit
Sastra, sebagai salah satu unsur pembelajaran di jurusan PBSI mendapat porsi yang lumayan (agak) banyak saat kuliah. Dan tugas yang pasti ada ialah membaca kemudian menulis sinopsis dan atau resensi novel. Novel yang harus dibaca bukan novel remaja yang menye-menye itu, tapi biasanya novel tebal dengan bahasa langit, bahasa yang susah dipahami sampai-sampai kening mengerut karena memikirkan makna satu kalimat.

Apatah lagi jika membaca novel angkatan lama (20, 30) yang sebagian kata-katanya sudah jarang digunakan pada masa sekarang. Tambah pusing lagi.


7. Yaelah, Cuma Kurang Koma Aja, Pak

Ya, hanya di jurusan PBSI, masalah titik koma adalah masalah hidup mati, eh, maksudku masalah lulus atau tidak lulus. Saat mengerjakan tugas membuat makalah, lebih-lebih skripsi, mahasiswa PBSI mesti teliti. Makalah atau tugas yang sudah jadi harus diteliti berulang-ulang. Sampai pada tanda baca: koma, titik, tanda seru, tanda tanya, tanda petik; juga penulisan huruf kapital. Jika kamu menulis kata senin dengan huruf s kecil, sudah pasti dicoret sama dosen. Atau kamu menulis kalimat: Meski hujan dia tetap menangis (apa hubungannya, yak). Sudah pasti, Pak Dosen --dengan bolpoin tinta merah-- membubuhkan tanda koma yang besar setelah kata hujan, “Ini harus diberi tanda koma!”

Tak heran jika saat konsultasi dengan dosen pembimbing, hasil skripsi mahasiswa banyak coretannya. Itu pun dosennya baru mengoreksi tata bahasanya, belum mengoreksi isinya.


***
Oke, itu tadi tujuh derita mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebenarnya masih ada derita yang lain, namun karena aku sudah terlanjur memberi judul “7 Derita....”, tentu tidak baik menambahinya.

Meskipun banyak deritanya, mahasiswa jurusan PBSI juga mempunyai banyak bahagianya, lho. Nantikan tulisan selanjutnya: 7 Kesenangan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Sebenarnya mahasiswa PBSI juga memiliki prospek kerja yang bagus, lho. Ada banyak jenis profesi yang bisa diisi oleh lulusan PBSI.

--------------------------------------------------------------------------



***
Sukoharjo, 2 Januari 2016






Friday, January 1, 2016

Aku Ingin

Aku ingin ....
Aku ingin menikahimu dengan sederhana
dengan akad yang kuucapkan kepada walimu
yang membuat kamu jadi milikku

Aku ingin menikahimu dengan sederhana
dengan mahar yang kusampaikan kepadamu
yang membuat kamu jadi milikku selamanya


 

***
Sukoharjo, 2 Januari 2016
13.18