Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, December 10, 2012

Aku Ingin Jadi Pengusaha Sukses


Sepertinya yang harus bertanggungjawab dalam hal ini adalah Robert Kiyosaki. Dengan bukunya, Rich Dad Poor Dad, ia telah mencuci otakku. Didoktrinnya aku dengan bermacam iming-iming tentang enaknya menjadi seorang pengusaha. 

Aku pertama kali mendengar buku itu dari salah seorang teman yang menawarkan sebuah bisnis saat aku kelas 3 STM. Dua tahun kemudian aku menjumpai buku itu duduk manis pada sebuah rak di toko buku dalam Mall Lippo Cikarang. Oya, Mall Lippo Cikarang letaknya tidak terlalu jauh dari perusahaan tempatku bekerja dan dari kost tempat tinggalku. Dulu sebelum memiliki sepeda motor biasanya aku dan kawan-kawanku ke sana dengan jalan kaki.

Baiklah, aku ceritakan sedikit tentang perusahaan tempatku bekerja dulu. Namanya PT Musashi Auto Part Indonesia. Dari namanya saja sudah ketahuan ia asli Jepang (dan dari namaku juga sudah ketahuan aku ini asli Jawa, kan). Di Cikarang dan sekitarnya ada beberapa kawasan industri, di antaranya kawasan EJIP, Hyundai, Jababeka, MM 2100, dan lainnya. PT Musashi berada di kawasan EJIP. Dan aku kasih tahu kawan, hampir semua karyawan di kawasan EJIP mendambakan bisa bekerja di Musashi. Tanpa melebih-lebihkan, Musashi menjadi salah satu idola untuk menjadi tempat mencari rezeki.

Dari beberapa informasi yang aku dapat dari kawan-kawan dan dari warga sekitar, Musashi merupakan perusahaan yang memberikan gaji tertinggi, memberikan pelayanan kesehatan yang baik, menjamin kesejahteraan bagi karyawan, dan adanya serikat pekerja yang aktif bergerak (tidak semua perusahaan membolehkan adanya serikat pekerja karena dianggap mengganggu atau terkadang menghambat kebijakan dari perusahaan).


Pakaian karyawan Musashi adalah putih-putih. Sebagian menyebutnya pakaian dokter. Jadi, jika ada yang berangkat kerja memakai pakaian putih-putih bisa dipastikan ia adalah karyawan Musashi. Aku salah satunya.

Semestinya aku merasa bersyukur bisa bekerja di perusahaan besar ini. Ditambah lagi, pekerjaanku tidak terlalu berat. Aku mengoperasikan mesin frais, bubut, dan hobbing (itu semua mesin untuk membuat roda gigi kendaraan) yang otomatis. Jadi tinggal memasukkan barang mentah, atur program dengan pencet-pencet tombol, jalanlah mesin itu dengan sendirinya. Sesekali dicek ukuran dan kehalusan barang yang sudah keluar dari mesin. Hampir begitu pekerjaanku selama dua tahun. Dan biasanya aku mengoperasikan dua atau tiga mesin, pernah juga empat mesin. Kalau hanya mengoperasikan satu mesin bisa ditinggal tidur itu.

Di sebuah perusahaan tentu ada aturan tentang kedisplinan. Dan di Musashi ini, aku katakan, disiplin banget. Secara gitu, bos-nya kan orang Jepang. Terkadang si bos-bos itu keliling pabrik untuk melihat-lihat. Pokoknya disiplin banget deh.

Dengan pekerjaan seperti itu dan gaji yang memadai semestinya aku betah bekerja di situ. Namun, dasar aku ini orangnya pemalas, sepertinya bekerja berangkat pagi pulang sore, atau kalau berangkat sore pulang malam kadang malah pulang pagi, tidak cocok untukku. Terkadang saat pagi masih mengantuk dengan terpaksa berangkat ke pabrik. Atau saat sore hari waktu paling enak untuk istirahat harus berangkat kerja. Ah, itu sungguh tidak mengenakkan.

Maka, suatu malam aku beli buku Rich Dad Poor Dad seharga lima puluh ribu itu. Percayalah, itu buku berbahaya. Provokatif banget. Membuat orang jadi berpikir ulang tentang pekerjaan. Membuatnya mempertimbangkan untuk maju menjadi pengusaha. Dan, ternyata aku telah terprovokasi.

Selain buku itu, aku juga membeli tabloid Kewirausahaan yang isinya menceritakan tentang orang-orang yang sukses dengan bisnis mereka. Aku kan tambah terprovokasi. Akhirnya saat masih bekerja di perusahaan itu aku menjadi sales sepatu. Iya, sales sepatu. Percayalah, gaji bulananku waktu itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhanku dan untuk tabungan. Aku menjadi sales karena ingin belajar menjadi pengusaha. Kata buku, menjadi sales akan memberikan manfaat yang besar bagi kepribadian seorang pengusaha yang sukses.

Dengan modal awal hanya Rp 25.000,- aku menjadi sales dengan membawa katalog sepatu. Oya, aku mengambil sepatunya dari Bandung, dikirim lewat jasa paket. Akhirnya selama tiga bulan aku berpredikat sebagai sales sepatu. Merasa malu? Iya, awalnya. Justru itulah, tekadang rasa malu menghambat kita untuk maju (kayaknya sih begitu kata-kata yang pernah aku baca). Meskipun hasil dari menjual sepatu ini tidak seberapa besarnya, namun uang hasil usaha ini rasanya lebih “manis”, lebih berharga, lebih bangga mendapatkannya.

Aku ini seorang pemalas. maka setelah dua tahun bekerja dengan sistem kontrak, maka aku keluar -atau dikeluarkan- dari perusahaan. Aku memang sudah berniat untuk tidak selamanya menjadi karyawan perusahaan. Setelah itu, aku pulang kampung. Aduh, bahagianya pulang kampung. Kenyamanan di kampung tidak akan pernah dirasakan oleh orang yang tidak pernah meninggalkan kampung dalam waktu lama. Ibaratnya seperti kembali ke dalam pelukan ibu, begitu.

Dan aku merasa lebih tenang, tenteram, dan nyaman tinggal di kampung. Kemudian aku membuka usaha toko stationary (alat tulis) dengan modal dari hasil menjual sepeda motor. Sebenarnya motorku itu sangat kusayang. Tapi apa boleh buat. Motorku sayang motorku melayang.

Setelah satu tahun mengelola usaha itu dan tidak terlihat kemajuan yang berarti akhirnya muncul perasaan bosan padaku. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Aku ingin kuliah. Teman-temanku hampir semuanya kuliah. Aku kan jadi ingin kuliah juga. Akhirnya aku masuk UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) dengan tetap mengelola usaha toko itu. Dan kau tahu hasilnya apa? Usaha tokoku terlantarkan. Kesibukan kuliah membuatku tidak bisa mengelola usaha dengan baik. Akhirnya setelah satu tahun menjadi mahasiswa, aku putuskan untuk menutup usaha toko itu.

Setelah menutup usaha toko, aku tetap berusaha mencari rezeki. Aku malu kalau terus-terusan minta pada orang tua. Aku mulai menjual pulsa, menjual makanan ringan, menjual kurma (waktu bulan Ramadhan saja), menjual buku, dan akhirnya aku mencoba membuka usaha percetakan. Auf Desain, dengan modal awal Rp 20.000,- untuk membeli katalog undangan.


Saat ini mungkin sudah banyak mahasiswa UMS -khususnya yang ikut organisasi kampus- yang mengenal nama Auf Desain. Tapi, percayalah, awal-awal usaha ini aku mulai, sungguh berat mencari orderan cetak di kampus. Pernah dalam satu bulan aku hanya membukukan keuntungan sebesar Rp 115.000,-.

Alhamdulillah, atas karunia Allah, akhirnya sejak semester enam atau tujuh (aku lupa persisnya kapan) aku bisa membiayai kuliahku sendiri hingga lulus. Ibarat burung yang keluar pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang, begitulah aku menjalani kehidupanku dalam mencari rezeki. Menjadi pengusaha memang penghasilannya tidak tetap, tapi -insya Allah- akan tetap berpenghasilan.

Dahulu memang ada beberapa orang yang mencela usahaku ini. Ada yang mengatakan bahwa aku ini hanya berpikiran bisnis terus. Atau saat aku membawa pesanan ke kampus ada yang bilang aku ini jualan terus. Aku juga tidak banyak meluangkan waktu untuk bermain seperti kawan-kawanku. Aku juga terkadang bekerja sampai malam ketika ada pesanan mendadak yang harus segera jadi. Bahkan, terkadang aku bolos kuliah saat sibuk mengerjakan pesanan.

Mungkin ada yang berkata, kalau begitu untuk apa kuliah kalau sudah punya usaha? Aku ini tetap ingin menjadi guru, kawan. Aku ingin menjadi seorang pendidik. Lihatlah generasi muda saat ini. Ayolah kita didik mereka itu biar suatu hari nanti mereka berguna untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.


Aku ingin menjadi guru bukan karena mengharapkan gajinya yang besar (setelah ada sertifikasi guru, gaji guru menjadi besar, bukankah banyak yang berbondong-bondong ingin menjadi guru). Makanya aku harus punya penghasilan dari usahaku agar aku tidak terlalu menggantungkan pada gaji bulanan guru. Dengan begitu, aku berharap agar aku ini bisa ikhlas mendidik murid. Begitu lho.

Saat ini -masa setelah baru saja lulus- aku lebih memilih untuk istirahat sejenak di rumah. Mengistirahatkan badan dan pikiran setelah empat tahun kuliah. Dan, sesekali HP-ku berbunyi, ada yang menanyakan tentang layanan Auf Desain, atau ada yang memesan barang cetak. Dari kamar ukuran 2 x 6 ini aku jalankan usaha Auf Desain. Percayalah.

Guru ngaji-ku pernah mengatakan bahwa orang yang menjadi pedagang atau pengusaha itu biasanya tingkat tawakkalnya lebih tinggi. Karena pedagang atau pengusaha tidak tahu apakah hari ini akan mendapat untung atau tidak, apakah besok lusa mempunyai uang untuk membeli beras atau tidak. Dan sepertinya aku mengalami hal itu. Memang setiap bulan aku tidak mendapatkan gaji besar seperti waktu bekerja di perusahaan dulu. Namun, saat ini aku merasa bahagia. Bahagia. Itu saja.




*Sukoharjo, 11 Desember 2012


0 komentar:

Post a Comment