Foto: Dalang Enthus Susmono (Solopos.com) |
Pukul setengah sebelas malam. Setelah badan berlelah bermain futsal, aku meluncur ke alun-alun Satyanegara, Sukoharjo. Beberapa hari terakhir terlihat spanduk terpampang di pinggir-pinggir jalan. Pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Pagelaran wayang kulit dilaksanakan di ruas jalan depan alun-alun. Orang-orang sudah berjubel. Jumlahnya ribuan. Kursi tertata sejauh seratus meter. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Termasuk aku.
Ki Enthus memainkan wayang dengan piawai. Padatnya penonton, aroma jagung bakar, bau rokok, dan suara tawa yang mengiringi sabetan wayang kulit, membuka gambaran-gambaran bergerak di benakku. Teringat masa kecil dulu, ketika pagelaran wayang kulit menjadi tontonan yang heboh dan tuntunan bagi masyarakat. Setahun sekali, kampungku mengadakan pagelaran wayang kulit. Kata orang-orang tua, sebagai tanda syukur terhadap Sang Pemberi Rezeki.
Bersama bapak, dahulu aku selalu girang menonton wayang. Dibelikan oleh bapak, kacang rebus yang dibungkus kertas membentuk kerucut. Dan atau jagung bakar rasa pedas manis. Saat itu, banyak para penjual yang berjejer di pinggir jalan dekat lokasi pementasan.
Peperangan yang menjadi adegan favoritku. Gatotkaca dengan gagah melawan para raksasa. Dengan diiringi musik gamelan yang menghentak-hentak, menambah adegan perang menjadi tontonan yang menarik. Kemudian biasanya aku terbangun di belakang kelir di pagi hari. Lalu berjalan pulang terhuyung-huyung karena masih setengah sadar.
Pagelaran wayang kulit ini sedikit memberi hiburan untukku, yang terkadang merasa kangen dengan masa lalu. Ditemani sebungkus kacang rebus dan sebatang jagung bakar. Seperti dahulu.
Semakin malam, udara semakin dingin. Wedang ronde menjadi pilihan yang maknyus untuk menghangatkan badan. Aroma jahe yang kuat, ronde yang kenyal, kacang yang renyah, hmmm... inilah nikmat.
Wedang ronde adalah minuman tradisional yang bermanfaat untuk menghangatkan badan, menghilangkan sakit kepala, masuk angin, perut kembung dan menyembuhkan penyakit yang mengganggu tenggorokan.
Aku heran juga, campuran bahan-bahan yang sepertinya tidak selaras ini bisa menghasilkan minuman yang nikmat. Air Jahe dicampur dengan tepung ketan sebagai bahan membuat ronde bisa menghadirkan perpaduan rasa yang khas. Apalagi dicampur dengan kacang yang renyah. Setiap bahan memang rasanya berbeda-beda. Tidak menyatu. Namun, perpaduan rasa yang tidak menyatu itulah daya tarik rasa wedang ronde ini.
Sebagaimana para penonton wayang kulit kali ini, di kursi bagian depan, duduk Bupati dan Wakil Bupati, beserta jajarannya. Kemudian di belakangnya para pejabat instansi pemerintah daerah. Di belakangnya adalah warga biasa.
Ada bapak-bapak, ada yang terlihat sudah sepuh, dengan asap yang mengepul dari bibirnya. Ada ibu-ibu, ada yang bersandar santai pada kursi, ada yang bersandar pada suaminya. Ada para pemuda dan remaja. Ada anak-anak juga yang datang bersama orang tuanya.
Warga Sukoharjo seperti menyatu dalam pagelaran wayang kulit ini. Dari berbagai umur, berbagai profesi, berbagai daerah. Mereka menyatu meskipun tidak sama. Datang dan duduk berdampingan meski tidak saling kenal.
Kembali ke wayang, kepiawaian Ki Enthus yang kusaksikan langsung sama seperti yang sering aku lihat di televisi dulu. Ki Enthus, selalu memasukkan kritik sosial politik dalam setiap pementasannya. Tak lupa kali ini. Berbagai petuah tentang ketatanegaraan diwasiatkan melalui dialog para wayang.
Para wayang menjadi duta pemberi nasehat, menjadi utusan pemberi tuntunan. Bahwa seorang pemimpin haruslah menepati janji. Bahwa menjadi pemimpin adalah menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Jabatan adalah amanah dari rakyat yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kelir menampilkan negeri Ngamarta yang sedang geger karena Werkudara dan Harjuna perang tanding. Dua kekuatan utama negeri Ngamarta dipertemukan untuk saling mengalahkan. Hal itu terjadi tak lain karena ulah para penghasut dan pendengki, yaitu Pendeta Durna dan Patih Sengkuni.
Werkudara hendak membunuh punakawan, atas perintah Prabu Pandu, atas hasutan Durna dan Sengkuni. Werkudara yang berwatak ksatria segera menjalankan tugas. Namun, dihadang oleh Harjuna sebagai bendara punakawan. Kakak beradik itu pun saling pukul, saling menghantamkan senjata. Gada Rujakpolo pun melayang-layang.
Keadaan semakin kacau karena Sengkuni mengerahkan para buto untuk membantu melenyapkan punakawan. Saat keadaan bertambah kisruh, Prabu Kresna, sang penguasa Dwarawati, mengutus Gatotkaca, Setyaki, dan Hanoman untuk menghancurkan para buto. Dan seperti pagelaran wayang kulit yang selalu kutonton, para buto takluk di tangan para ksatria. Akhirnya, Werkudara menyadari kesalahannya. Para penghasut dan pendengki gagal menghancurkan Pandawa.
Lakon tersebut banyak memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Politik tidak harus diajarkan di sekolah dan kampus. Atau di hotel-hotel dalam acara penataran. Atau di layar kaca yang menyilaukan.
Dengan wayang kulit, pendidikan politik bisa ditanamkan pada masyarakat dengan cara yang menghibur. Bukan dengan cara debat yang memuakkan, atau kata-kata manis yang menjemukan. Seharusnya politik bisa dinikmati masyarakat sebagaimana mereka menikmati teh atau kopi.
Di malam Minggu yang dingin ini, aku menikmati wayang kulit, wedang ronde, dan secangkir politik.
***
Sukoharjo, 19 Januari 2014
0 komentar:
Post a Comment