Resensi Novel Glonggong karya Junaedi Setiyono |
Penulis: Junaedi Setiyono
Tahun terbit:Juli 2007
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Kota terbit: Jakarta
Tebal: 293 halaman
***
"Kanjeng Sultan Ngabdulkamid meninggal dunia pada 8 Januari 1855 pukul setengah tujuh pagi waktu Makassar."Begitulah novel ini diawali dengan narasi tokoh utamanya, Glonggong. Yang dimaksud Kanjeng Sultan Ngabdulkamid ialah Pangeran Dipanegara. Dengan begitu, pada bagian awal novel ini, pembaca memiliki gambaran latar waktu dan tempat, yaitu ketika masa perjuangan Pangeran Dipanegara di Jawa Tengah.
Novel ini tidak secara detail mengisahkan bagaimana jalannya salah satu perang terbesar di Jawa, yaitu Perang Jawa. Tokoh utamanya juga bukan tokoh terkenal yang ada, misalnya sang Pangeran Dipanegara. Penulis lebih memilih mengisahkan perjuangan tokoh akar rumput, seorang pemuda yang bercita-cita menjadi prajurit Pangeran Dipanegara.
Dialah Glonggong, tokoh utama yang namanya diambil dari senjata mainan untuk perang-perangan berupa pelepah pisang. Meskipun masih keturunan ningrat dari Keraton Yogyakarta, Glonggong lebih banyak bergaul dengan rakyat jelata. Oleh karena itulah, ia menjadi sosok yang memiliki kepedulian dan rasa prihatin.
Ayahnya meninggal saat Glonggong masih bayi. Ia dibesarkan oleh ibunya dan ayah tirinya. Namun, ayah tirinya tak memberikan pengasuhan yang baik bagi Glonggong. Sejak kecil, Glonggong pun sudah terbiasa hidup prihatin.
Masa kecil dan remajanya dihabiskan di pedesaan, bergaul dengan masyarakat dan merasakan penderitaan mereka. Ketika dewasa, saat Pangeran Dipanegara berjuang melawan Belanda, Glonggong bertekad bergabung dengan pasukannya. Dengan kemampuannya memainkan senjata glonggong -yang terbuat dari kayu- ia mencari prajurit Pangeran DIpanegara dan bergabung dengan mereka.
Selama menjadi prajurit tersebut, ia belum pernah bertemu secara langsung dengan pangeran Dipanegara. Pertemuannya dengan Pangeran Dipanegara ialah saat Pangeran Dipanegara ditangkap Belanda dengan siasat curangnya.
Perjalanan Glonggong menjadi prajurit menjadi menarik karena melibatkan banyak konflik batinnya. Bagaimana ia menyikapi keluarganya yang penuh kepedihan. Bagaimana ia mengendalikan asmaranya. Bagaimana pula ia menata hatinya saat ia mengetahui bahwa saudarinya menjadi gundik bangsawan.
Sebagai novel berlatar sejarah, alur cerita novel ini memang menarik meskipun alurnya berjalan lambat. Hal ini sepertinya disengaja oleh penulisnya untuk memperkuat karakter tokoh utamanya. Tokoh utamanya dibebani banyak masalah hingga membentuknya menjadi pemuda yang berkemauan kuat dan keras kepala.
Penulis berhasil menyajikan Glonggong sebagai tokoh yang hidup, yang karakternya seolah-olah benar-benar ada. Terlebih lagi, penulis tidak menciptakan tokoh utama yang sempurna. Bahkan, Glonggong sebagai tokoh utama memiliki banyak kekurangan, juga kegagalan dalam perjuangannya.
Membaca Glonggong, kita akan dibawa menuju atmosfir perjuangan masa penjajahan Belanda. Penulis menggambarkan latar tempat dan suasana dengan apik. Tak lupa, penulis selipkan beberapa kosakata bahasa Jawa, dan pembaca bisa mencari penjelasan kosakata tersebut di bagian Glosari.
Melalui Glonggong, pembaca bisa memahami bagaimana kondisi sosial politik pada masa Perang Jawa. Penulis menggambarkan bagaimana keadaan masyarakat. Penulis juga menggambarkan hubungan bangsawan dengan Belanda.
Dengan begitu banyaknya kelebihan, novel Glonggong --sebagai salah satu novel sejarah-- perlu untuk didarasi. Setidaknya dengan begitu kita bisa menghirup aroma perjuangan Pangeran Dipanegara. Selain itu, transformasi tokoh utama --dari seorang anak kecil yang hidup dalam kepedihan menjadi pemuda matang yang berkepribadian kuat-- akan memberikan banyak pelajaran.
Dalam masalah kekurangan novel ini, terus terang saya belum bisa menemukannya. Mungkin penggambaran latar Jawanya perlu dikuatkan lagi. Secara umum, novel ini sangat bagus. Pantaslah sehingga novel ini menjadi pemenang lomba penulisan novel DKJ 2006.
Ahmad Tohari --dalam endorsmen-- berkomentar tentang novel ini, "Sebuah novel historiografi Perang Dipanegara. Genetika kebobrokan politikus sekarang bisa dilacak dengan jelas dalam novel pemenang lomba penulisan novel DKJ 2006 ini."
Bambang Sugiharto, --guru besar filsafat Unpar Bandung-- berkomentar, "Glonggong, penataan alur dan bahasanya indah menawan; intrik politiknya pelik dan cerdas; karakter tokoh-tokohnya matang dan mendalam; novel sejarah paling mengesankan yang pernah saya baca."
***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 19 Juli 2015
0 komentar:
Post a Comment