Aku kok kayak masih remaja gitu, ya. |
Lalu ada masanya badanku kurus. Yang pertama saat duduk di sekolah menengah atas. Kurus bukan karena kurang makan, tapi malas makan. Apalagi anak STM, badan hitam sering berjemur di jalan. Yang kedua saat bekerja di Bekasi. Bekerja 8 jam sehari dan seringnya lembur hingga 12 jam membuat badanku kurus. Apalagi ada jadwal shif sore dan malam. Meskipun memang saat itu kulitku menjadi agak putih karena lebih sering berada di dalam pabrik.
Yang ketiga, adalah saat kuliah. Meskipun aku kuliah dengan santai, sering terlambat, dan beberapa kali tidak masuk, tetap saja badanku semakin kurus. Apalagi sering pula aku menyusun makalah semalam jadi. Ditambah jadwal makan yang tidak teratur.
Saat-saat kurus seperti itu aku tidak terlalu mengkhawatirkan pipiku yang otomatis berkurang tembamnya. Yeah, aku nggak tembam, lho.
Lalu, saat menjadi guru, lambat laun berat badanku naik. Meski jadwal makan masih belum teratur, sehari bisa dua kali atau tiga kali, tetap saja setiap melihat jarum timbangan batinku berkata, lho, kok nambah lagi. Dan peningkatan berat badan itu linear dengan penambahan volume pipi alias pipiku keliatan tembam lagi.
Mungkin karena ketembaman pipiku itu, banyak yang salah tafsir terhadap usiaku. Mungkin penafsiran mereka dipengaruhi juga oleh wajah imutku dan senyum innocent-ku.: D
Dulu, sewaktu mendampingi para siswa berkemah dalam acara Jambore di daerah Nguter, ada ibu muda penjual makanan yang memanggilku dengan sebutan “Dek”.
Saat itu aku sedang duduk-duduk berteduh di bawah pohon samping warung. Penjual warung itu bertanya kepadaku, “Dari SMP mana, Dek?” Perhatikan kata sapaan “Dek” yang digunakannya. Untuk sejenak aku terdiam, dan berpikir: eh, aku dipanggil “Dek”, padahal kan aku guru.
Lagi, saat itu aku bersama seorang guru –usianya mendekati 40 tahun--, sedang mengurus surat keterangan sehat dari Puskesmas dalam rangka mengikuti KMD, semacam latihan keterampilan untuk pembina Pramuka. Saat di Puskesmas, petugasnya bertanya kepada kami, “Bisa lihat KTP atau Kartu Pelajarnya?”
Hah, aku bengong sejenak. “Bisa lihat KTP” itu untuk guru yang berdiri di sampingku, dan “Kartu Pelajar” itu pasti ditujukan kepadaku. Apa nggak lihat jenggotku yang tumbuh sedikit ini? Dia bilang minta Kartu Pelajar??!!!. Hah, aku ini guru, kok dimintai Kartu Pelajar!!! Ini namanya penghinaan!
Lalu suatu siang, saat aku memberikan materi Mentoring kepada belasan siswa yang duduk melingkar mengelilingiku, seorang ibu muda datang. “Permisi, di mana gurunya, ya?” tanya ibu itu. Padahal, aku duduk tepat di hadapannya. Aku tersenyum kepada ibu itu. Senyum penuh kode. Tapi, kali ini senyum penuh kode-ku takmanjur. Ibu itu masih bertanya lagi, “Di mana gurunya?”
“Ini gurunya, Bu,” jawab seorang siswaku.
Ibu itu melihat ke arahku. “Eh, jenengan, to. Ngapunten, nggeh,” kata ibu itu dengan wajah penuh sesal. Cepatlah kau bertobat, Bu.
Lalu, suatu siang yang panas, saat aku mengajari para siswa mendirikan tenda di ladang takterpakai seberang sungai, seseorang datang dan bertanya, “Pak Kris mana?” Saat itu, aku sedang jongkok, membuat simpul dan ikatan pada tenda. “Pak Kris mana?” tanyanya lagi. Padahal, orang itu berdiri satu meter di depanku.
“Ini Pak Kris,” kata seorang siswaku.
“Eh, Pak Kris,” orang itu pun tersenyum aneh, penuh sesal. Segeralah bertaubat.
Mengapa banyak yang sulit membedakan mana siswa, mana guru. Aku pun berkaca, apa wajahku begitu imutnya hingga masih dianggap sebagai pelajar? :D
Begitulah, orang-orang sering salah tafsir mengenai usiaku.
“Berapa usiamu,” begitu seringnya tanya orang terlontar.
“Usiaku ** [sensored) tahun.”
Lalu reaksi kebanyakan orang adalah kaget dan mengatakan, “Apa iya?”
Lha, kowe ki takon opo maido? ‘kamu itu bertanya apa mendebat?, batinku.
Ditanya sudah kujawab, malah tidak percaya. Apa aku harus mengeluarkan KTP dulu baru percaya berapa usiaku.
“Kelihatan masih muda,” kata banyak orang.
Lalu aku mencoba mengetes beberapa orang. Bertanya kepada mereka. Pertanyaannya: aku dan dia (seseorang yang kutunjuk), lebih tua mana? Dalam beberapa kesempatan, aku bertanya kepada beberapa orang dengan orang lain sebagai pembanding. Dan hampir semuanya salah dalam menjawab. Dijawabnya aku lebih muda daripada orang yang kutunjuk. Padahal, aku selalu membandingkan dengan orang yang usianya lebih muda dariku.
Jika sudah demikian, aku sering dibuat confused. Saat kujawab tanya mereka dengan usia yang sebenarnya, mereka tidak percaya. Dan jika kujawab dengan usiaku yang aku kurangi beberapa tahun (5 tahun atau 8 tahun lebih muda), banyak yang percaya. Bagaimana ini? Aku benar-benar berada dalam sebuah dilema. Kujawab jujur, pada nggak percaya. Kujawab takjujur, malah pada percaya.
Akhirnya, aku membuat keputusan. Cukup sudah semua ini berlangsung! Hentikan! Jangan bertanya lagi berapa usiaku! Kalau kujawab jujur, kau tak percaya. Kujawab takjujur, kau malah manggut-manggut. Lak yo, nganyeli, to.
#Sepetinya,pipikukeliatantembamlagi.
***
Sukoharjo, 10 Desember 2015
Saat piknik bersama para murid. |
Aku sok sibuk kalau di sekolah. |
0 komentar:
Post a Comment