Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, July 5, 2016

Tentang Jodoh: Sebuah Renungan Saat Lebaran


Malam sudah lewat dari pekatnya, menuju fajar yang sebentar lagi kan datang. Bintang-bintang terlihat cemerlang di langit yang cerah. Dari kejauhan, gema takbir sahut-menyahut.

Pada hari Lebaran ini, aku merenungkan kehidupan yang tlah kulalui. Pendidikan, karir, cinta, semua hal. Yang paling mengemuka dalam pikiranku ialah tentang jodoh. Oleh karena itu, dengan diiringi suara takbir yang terdengar syahdu itu, kutuliskan apa yang kualami, kumaknai, kurasai, dan kurenungi.

Dulu aku memang bercita untuk menikah di usia pertengahan dua puluh. Sebut saja 25 tahun. Terbesit pula dahulu ingin menikah saat masih kuliah. Tapi, jalan takdir berkata lain. Kini, aku sudah melalui hari-hariku selama 30 tahun. Dan jodoh belum kunjung datang.

Boleh dikata aku telat masuk perguruan tinggi. Setelah tamat SMK, aku melanjutkan bekerja di luar kota selama 2 tahun. Kemudian, 1 tahun berikutnya aku mendirikan usaha toko alat tulis di kampung. Terhitung jarak 3 tahun antara lulus SMK dan masuk kuliah. Aku pun lulus S1 pada usia 26 tahun. Padahal, sebagian besar temanku lulus S1 pada usia 22 tahun.

Saat ini, teman-teman sebayaku hampir semua sudah menikah. Bahkan sudah ada yang dikaruniai anak. Teman-teman di bawah usiaku pun juga begitu. Sedang, aku masih saja ke mana-mana sendirian, masih suka jalan-jalan, main-main, dan galau-galauan, serta menulis puisi picisan.

Tapi, itulah jalan takdir, itulah jodoh. Jangan dikira aku tak berusaha untuk menjemput jodoh. Baiklah, aku ceritakan tentang beberapa perjalananku dalam mencari jodoh.

Sewaktu kuliah, aku pernah dekat dengan seorang wanita. Ia wanita yang baik dan mandiri, berasal dari keluarga yang cukup berada. Aku menyukainya dan ia pun punya perasaan yang sama. Hingga, aku dan dia pun bersepakat akan menikah. Namun, saat itu keadaanku ibarat api lilin yang tertiup angin: terombang-ambing. Aku belum mandiri, belum siap. Bahkan, untuk sekadar membayar SPP kuliah pun aku keteteran.

Dengan sikap kalut, ceroboh, dan terburu-buru, aku pun memutuskan untuk tak berhubungan lagi dengannya. Aku menyakiti hatinya. Aku benar-benar merasa menjadi laki-laki yang buruk saat itu. Tapi, keputusan sudah diambil, belati sudah ditancapkan.

Aku tahu wanita itu bersedih selama beberapa waktu, mungkin berbulan-bulan. Hingga akhirnya, wanita itu menemukan jodohnya. Awalnya dia tidak berminat untuk taaruf dengan seorang laki-laki. Namun, aku mendukung dan mendorongnya agar ia mau mencoba. Siapa tahu itulah jodohnya. Sebenarnya dukungan itu muncul akibat rasa bersalahku kepadanya.

Beberapa bulan kemudian, dia menikah dengan laki-laki itu. Saat itu aku masih kuliah, dia juga, tapi suaminya sudah bekerja. Aku merasa senang saat dia bisa menikah. Saat pernikahannya, aku datang dengan membawa kado berisi barang yang dahulu pernah ingin dimilikinya. Semoga kamu bahagia dengan kehidupan barumu, begitu batinku. Sedang, aku masih harus berkutat dengan mencari rezeki untuk menyelesaikan kuliahku yang masih beberapa semester.

Pada semester akhir, kondisi finansialku sudah cukup stabil. Usaha yang aku rintis mulai bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan kuliah dan keperluan sehari-hari. Aku pun bisa menabung. Dalam kondisi tersebut, aku pun berpikir untuk menikah. Aku mulai mencari-cari “target”.

Ada seorang wanita di kampusku yang memiliki senyum yang sangat menawan. Dia beberapa semester di bawahku. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenalnya karena aku bertemu dengannya hanya beberapa kali dalam kegiatan kemahasiswaan. Menurut anggapanku, dia berkepribadian baik.

Selama beberapa hari, aku menimbang-nimbang keinginanku untuk menikahi wanita itu. Dalam beberapa hari, pikiranku sesak oleh masalah itu. Dia belum terlalu mengenalku, bagaimanakah tanggapannya nanti.

Akhirnya, dengan modal nekat, aku mengutarakan keinginanku kepada wanita itu. Awalnya aku menanyai alamat aslinya. Ternyata, ia dari luar kota. Kemudian, aku mulai mengungkapkan maksudku. Terasa deg-degan saat menunggu jawaban darinya. Dan seperti yang sudah kuduga, ia menolak dengan halus. Aku pun lega. Setidaknya aku sudah pernah berjuang, kan. Setidaknya, setelah penolakan itu aku tidak dihantui oleh pikiran yang macam-macam.

Selesailah masalah dengan wanita dengan senyum yang menawan itu. Hidup terus berjalan.

Wanita yang kukenal selanjutnya ialah seseorang yang hanya pernah kutemui sekali. Ia teman dari temanku. Saat itu aku sudah lulus kuliah, begitu juga wanita itu. Aku beranggapan, sudah waktunya aku menikah, dan aku memandang wanita itu juga sudah siap berumah tangga.

Ia wanita baik, begitu menurut pendapatku dan menurut pandangan teman-temannya. Aku pun mengutarakan maksudku. Kemudian, melalui perantara seorang teman, aku dan dia bersepakat akan melakukan taaruf. Aku meminta kepada temanku untuk mengunjungi rumahnya, berbincang-bincang dengannya, dan menilai bagaimana kepribadiannya. Temanku melaksanakan tugasnya dengan baik. Wanita itu baik, ramah, dan memiliki adab yang baik, begitu kata temanku. Aku pun semakin mantap untuk melanjutkan proses taaruf. Dia pun sepertinya juga punya firasat yang sama denganku.

Namun, sekali lagi, jalan takdir sungguh misteri. Tak berselang lama, aku tertimpa sebuah cobaan. Cobaan itu --menurut perhitunganku—membuat diriku tidak bisa menikah dalam waktu dekat. Setelah melakukan pertimbangan, aku pun mengambil keputusan. Aku katakan kepada wanita itu --melalui SMS-- bahwa aku sedang tertimpa cobaan. Aku minta maaf karena proses taaruf tak bisa aku teruskan.

Aku katakan kepada wanita itu, aku bisa menikah setidaknya paling cepat 1 tahun lagi. Namun, aku tidak mau “menggantung” posisi wanita itu. Aku membebaskannya dari ikatan taaruf. Bahkan, aku nasehatkan, jika nanti ada laki-laki baik yang datang kepadanya, terimalah. Segeralah menikah. Wanita itu bisa menerima penjelasanku, meskipun aku tidak tahu secara pasti bagaimana isi hatinya.

Berselang 1 tahun kemudian, wanita itu menghubungiku. Ia mengabarkan bahwa ia akan segera menikah. Oleh karena itu, ia hendak memesan kartu undangan pernikahan kepadaku. Aku lupa bagaimana perasaanku saat itu. Sepertinya aku ikut merasa senang karena sebelumnya aku merasa bersalah karena dengan sepihak memutus proses taaruf. Dengan menikahnya wanita itu, rasa bersalah itu bisa hilang. Maka, aku pun mendesain dan mencetak kartu undangan dengan nama pengantin wanita yang dahulu hendak kunikahi. Hanya saja, nama pengantin laki-lakinya bukan diriku.

Roda kehidupan terus berputar. Pencarian jodoh terus berjalan.

Aku terkesan dengan seorang wanita yang pandangan matanya sungguh menusuk. Pandangan matanya sungguh tajam, namun meneduhkan. Aku selalu tak sanggup memandang matanya berlama-lama. Setiap berpapasan, aku hanya bisa sekilas melihatnya. Aku suatu perasaan malu, sungkan, dan ragu untuk memandangnya, apalagi menyapanya. Bahkan, setelah bertemua tiga kali pun aku belum terlalu hafal dengan wajahnya karena seringnya aku menundukkan pandangan. Begitupun dengan dia yang selalu menjaga pandangan.

Betapa indahnya dunia jika wanita itu menjadi istriku, begitu pikirku saat itu. Namun, aku dan dia tak pula berjodoh.

Wanita itu adalah teman dari temanku. Melalui pengamatanku, aku menduga bahwa temanku --teman baikku-- itu memiliki perasaan terhadap wanita itu. Aku dilema. Aku merasa bersalah jika “merebut” wanita itu dari temanku. Aku pun tak yakin jika wanita itu mau denganku.

Akhirnya, aku pun memendam keinginanku. Setiap bersua dengan wanita itu, aku selalu menjaga pandangan dan menjauhkan diri. Karena sungguh tersiksa rasanya melihat seseorang yang kita tahu bahwa kita takbisa memilikinya. Ini memang seperti kisah klise, tapi begitulah adanya.

Kemudian, wanita itu pun menikah dengan teman baikku. Ada sesuatu yang terasa sesak dalam dadaku. Aku memang merasa senang temanku menemukan jodoh yang diinginkannya itu. Tapi, masih saja ada sesuatu yang terasa hilang.

Aku menghadiri pesta pernikahan temanku itu. Dan masih saja, aku takberani memandang wanita itu. Aku takut perasaanku kalut jika memandangnya. Perasaan itu pun aku urai sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu.

Aku sering bertanya-tanya, mengapa jalan hidupku begini? Mengapa di usia sekarang aku belum jua menemukan jodohku? Mengapa wanita-wanita itu hanya lewat sekilas dalam hidupku?

Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sebuah keluhan, apalagi gugatan kepada Tuhan. Aku bertanya-tanya, wahai Tuhan, apakah hikmah di balik semua ini?

Aku berusaha berdamai dengan jalan hidupku. Menerima takdir yang ditetapkan atasku. Aku yakin, ada hikmah atas perjalanan pencarian jodohku. Siapakah wanita yang akan menjadi jodohku? Wanita-wanita yang lewati sekilas dalam hidupku itu, tentu bukanlah orang terbaik bagiku. Ada seseorang yang sudah disiapkan oleh Tuhan sebagai jodohku. Seseorang yang melengkapi hidupku. Seseorang yang menjadi setengah dari diriku.

Kini, aku selalu menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas sambil memperbaiki kualitas diri. Dan masa penantian ini, aku berusaha selalu berucap syukur atas segala nikmat, atas segala pelajaran dalam hidupku, atas segala hikmah cobaan yang menimpaku.


***

(Sukoharjo, 1 Syawal 1437 H)


1 komentar: