Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, February 15, 2017

Saya Menyerah Kali Ini


Cuaca siang ini mendung. Matahari sedang kumat malasnya. Masih asyik selimutan awan gelap. Mungkin sedang bermimpi bercumbu dengan rembulan yang tidak pernah bisa dijumpainya. Kasihan amat, deh.

Seperti biasa, pada hari ini, pukul segini, jadwal saya mengajar kelas VII A. Fyi, kelas VII A itu kelas super dan spesial dengan aneka bumbu: manis, pedas, kecut, asem. Tapi, saya pun tak mau kalah. Saya selalu mencoba memegang kendali, mengondisikan kelas agar tidak pecah perang dunia kedua setengah.

Di kelas ini saya mengajar setelah istirahat siang. Tahu sendiri, kan, bagaimana suasana siang di sekolah itu. Cuacanya bikin gaya gravitasi makin berat aja. Apalagi, setelah kenyang makan siang, ditambah langit mendung, dan embusan angin dari kipas yang wess...wess...wess....

Murid putra di kelas ini sebagian besar cenderung aktif. Saya harus sering-sering mengingatkan agar belajar dengan tenang. Kadang ada yang berseliweran ke meja temannya, ada yang saling ejek, ada yang teriak, ada yang menyembunyikan pulpen temannya, ada yang ngupil, ada yang pura-pura tidur, ada yang menggambar. Saya mesti sering menegur agar mereka konsentrasi.

Terkadang saya mendekat dan menasehati langsung satu siswa yang benar-benar butuh perhatian karena terlalu berisik atau tidak fokus mendengarkan. Terkadang saya mengeluarkan suara tegas agar seluruh siswa mengerjakan apa yang semestinya dikerjakan, misalnya menjawab soal atau mencatat materi. Saya sering keliling kelas, mendatangi satu per satu siswa untuk memastikan mereka benar-benar mencatat dan mengerjakan soal.

Siswa putrinya sebagian besar juga cenderung aktif. Ada yang suara teriakannya melengking tinggi melampaui nada penyanyi opera. Mungkin gelas bisa retak jika dihadapkan pada suara teriakan itu selama 1 jam nonstop.

Pada setengah waktu pelajaran, kondisi kelas baik-baik saja. Mereka mencatat apa yang saya tulis di papan tulis yang kemudian saya terangkan. Mereka juga mengerjakan soal yang saya berikan meskipun ada yang bertanya bagaimana cara mengerjakan soal. Padahal, sebelumnya sudah saya jelaskan. Setelah itu, yang lain bertanya lagi dengan peratanyaan yang sama. Setidaknya ada tiga orang yang bertanya demikian. Wakdess... anaknya siapa inih, pengen saya lumat.

Kira-kira lima belas menit sebelum usai pelajaran, saya merasa kelas sudah tak terkondisikan. Banyak yang ramai, berjalan ke sana, berlari ke sini. Saya sudah peringatkan agar kembali tenang. Biasanya, mereka akan kembali tenang. Tapi, kali ini mereka tenang sebentar, kemudian kembali ramai lagi.

Siswa putri yang biasanya aktif dan bisa saya ajak interaksi dalam pelajaran, kali ini tampak bermalasan. Sebagian meletakkan kepala di atas meja. Saya memancing perhatian mereka dengan beberapa pertanyaan. Responnya negatif, mereka tampak malas, wajahnya lesu.

Siswa putra banyak yang ramai, siswa putri bermalas-malasan. Kali ini saya merasa tidak bisa mengondisikan kelas. Siswa putra yang saya nasehati agar tenang, tidak bisa sepenuhnya tenang. Siswa putri yang saya pancing perhatiannya, tidak memberi respon yang positif. Ada apa ini? Saya merasa ada gejolak di dalam dada. Anak-anak ini sungguh membuat saya ingin marah.

Sepuluh menit sebelum pelajaran berakhir –dan kondisi kelas belum bisa saya kendalikan, akhirnya saya meminta perhatian dengan tegas. Dengan suara tegas. Yang ramai kemudian diam. Yang tertunduk kemudian memberi perhatian.

Kali ini saya menyerah. Saya menyerah mengondisikan kelas. Saya menyerah memberikan nasehat sambil tersenyum. Saya hampir tidak bisa menahan marah. Rasanya mungkin melegakan jika saya menyemburkan amarah kepada mereka. Namun kata-kata yang keluar dari mulut saya seperti ini.

“Sepertinya hari ini kalian sedang tidak ingin belajar. Jika kalian tidak ingin belajar, buat apa kita belajar di sini. Buat apa Pak Guru mengajar kalian sekarang. Perbuatan kalian membuat Pak Guru mau marah. Tapi, jangan ada marah di antara kita, ya. Jangan ada marah di antara kita. Jika kali ini kalian sedang tidak ingin belajar, ya sudah, kita hentikan pelajaran hari ini. Masih ada waktu 10 menit. Kalian tidak ingin belajar, hal itu membuat Pak Guru tidak ingin mengajar kalian. Pelajarannya kita sudahi sekarang.”
Saya mengatakan hal di atas sambil menahan gejolak di dada. Sebenarnya, bisa saja saya mengeluarkan suara keras kepada mereka. Bisa saja saya memarahi mereka. Dan mereka akan diam mendengarkan, kemudian pelajaran bisa dilanjutkan. Tapi, saya tidak mau. Saya berusaha menahan. Menahan. Sabar.

Lagi pula, tingkah mereka yang kali ini sulit dikendalikan mungkin karena saya melakukan sebuah kesalahan, melakukan sebuah dosa. Saya ingat, ada seorang saleh pada zaman dulu yang mendapati hewan peliharaannya susah dikendalikan, yang karena hal itu ia mengetahui bahwa tingkah peliharaannya tersebut disebabkan karena sebuah kesalahan yang dilakukannya.

Setelah itu, saya pun keluar dari kelas. Tapi sebelumnya sempat berbincang dengan siswa putri. Saya bertanya mengapa mereka tampak lemas. Sedang berpuasa, jawab mereka. Oh, pantas saja wajah mereka tampak lelah. Mungkin lapar dan mengantuk. Nanti sore mau berbuka puasa bersama, kata mereka. Saya pun memberi pujian, bagus.

Ah, saya lelah.

0 komentar:

Post a Comment