Menikmati Musik Calung di Malioboro, Yogyakarta |
Pada malam terakhir Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia di Indoluxe Hotel Jogjakarta, aku jalan-jalan ke Malioboro bersama 3 orang lainnya. Malam terakhir semestinya kami memang memanfaatkan waktu buat jalan-jalan. Kebetulan sedang tidak ada sesi materi. Materi terakhir terselesaikan pada sesi sore tadi.
Entah sudah berapa kali aku ke Malioboro. Puluhan kali. Sewaktu menjadi pelajar SMK dulu, aku magang di salah satu perusahaan di Jalan Magelang yang letaknya hanya selemparan batu dari Malioboro sehingga jika waktu luang, aku bersama teman-temanku akan jalan-jalan ke Malioboro. Setiap main ke Jogja seringnya juga mampir ke Malioboro.
Biasanya di Malioboro aku hanya jalan-jalan melihat-lihat dagangan. Aku jarang membeli banyak barang di Malioboro, paling cuma makanan oleh-oleh atau souvenir ringan. Melihat orang berlalu lalang dan melihat-lihat dagangan serta beberapa karya seni yang terpajang di ujung selatan Malioboro sudah cukup membuatku senang.
Dan hanya aku yang jomblo |
Kali ini, ada yang tampak berbeda dari Malioboro. Sepanjang jalan Malioboro tidak ada sepeda motor yang terparkir yang biasanya menyesakinya. Pinggir jalan dan trotoar bersih dari kendaraan. Kendaraan yang masih boleh berada di sana hanyalah andong sebagai angkutan pariwisata. Pemda telah melakukan penataan parkir. Sekarang parkir sepeda motor berada di ujung utara Jalan Malioboro, persis sebelah timur Stasiun Tugu.
Perhatikan tangan dua orang di tengah yang selalu bergandengan. : D |
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). (https://id.wikipedia.org/wiki/Calung)
Malam Minggu ini ada empat kelompok pemusik calung yang sedang pentas. Kami berjalan-jalan, setelah memarkir kendaraan di depan Benteng Vandenburg. Beberapa karya seni dari barang bekas menarik perhatian kami. Tak lupa kami berfoto-foto. Para pedagang di sepanjang ruas jalan yang menawarkan barang dagangannya kami balas hanya dengan senyum dan gerakan tangan tanda penolakan. Sepertinya memang tak ada dari kami yang berniat berbelanja kali ini.
Kami berhenti setiap menjumpai pemusik calung yang sedang beraksi. Mereka membawakan aransemen beberapa lagu: lagu tradisional atau lagu modern; lagu lama atau lagu baru. Dalam permainan musik calung, tidak ada penyanyinya. Jadi, ini murni pertunjukan permainan alat musik.
Cuplikan rekaman musik calung yang menyajikan aransemen lagu Manuk Dadali
Kami berhenti agak lama di pentas musik calung yang paling utara. Para pemusik itu terlihat masih muda-muda. Mungkin mereka para mahasiswa, pikirku. Mungkin mahasiswa ISI Jogja yang kampusnya terletak di Jalan Parangtritis, tak terlalu jauh dari sini. Kami duduk-duduk di bibir taman depan mall: menikmati musik calung sambil melihat-lihat orang-orang lewat. Beberapa dari mereka berhenti sejenak untuk mengulurkan uang ke dalam kotak.
Udara malam tak terlalu dingin, dan ramainya Malioboro mampu menghangatkan suasana. Sekotak es krim menambah kenikmatan malam Minggu. Hingga waktu beranjak malam dan kami memutuskan untuk pulang.
Naik andong dulu biar kayak turis kekinian |
Saat hendak memasuki area parkir, aku menyempatkan membeli sebuah souvenir kecil: gantungan kunci dengan bandul huruf S. Iya, S.
Dan kami pun kembali ke hotel dalam keadaan lapar. “Makan dulu, ya,” ajak salah seorang dari kami yang segera kami iyakan.
***
(Sukoharjo, 30 Juini 2016)
~ S ~ |
0 komentar:
Post a Comment