Sumber: the-pics.com
Pelajaran Bahasa Indonesia siang itu saya akhiri dengan sebuah permainan ringan yaitu lompat-lompat. Setelah itu saya menutup pelajaran dengan mengucap salam yang segera dijawab serentak oleh para siswa. Saya berjalan hendak keluar kelas. Sebelum sempat melewati pintu, beberapa siswa mencegat saya dengan sepotong pinta. Mereka meminta saya memotret mereka.
Karena luluh dengan pohonan dan rengekan mereka, saya pun mengiyakan yang segera disambut sorak kegembiraan oleh mereka. Lalu mereka menempatkan diri di dekat dinding kelas. Saya bersiap-siap memotret. Mereka bergaya. Gaya yang pernah saya lihat pada sebuah foto yang pernah tersebar di dunia dalam jaringan.
Ada empat siswi yang berada dalam frame kamera. Dua di tengah, berdiri depan belakang dengan sedikit menekuk lutut. Dua yang lain berdiri di sebelah kanan dan kiri dengan jarak sekita dua langkah dari yang tengah. Yang tengah mengacungkan lengan ke depan dengan tangan tertutup, lalu kepada di benamkan di balik kedua lengannya. Yang di kanan dan kiri, kepala menunduk, ditutup satu lengan yang ditekuk di depan wajah, lengan satunya diacungkan serong ke atas –semacam pose pahlawan bertopeng, hanya saja wajahnya tertutup lengan. Begitu gaya berfoto mereka.
Cekrik. Suara potret yang setelahnya disambut sorak oleh mereka. Saya heran, mengapa mereka senang sekali bersorak.
Saya bukan termasuk orang yang pandai bergaya di depan kamera sehingga pose foto saya cenderung standar, biasa saja, dan membosankan. Sedang, anak-anak itu –yang tadi berpose seperti gaya pahlawan bertopeng—suka-suka saja berpose di depan kamera.
Yang jadi, pertanyaan saya: dari mana mereka mendapat “wangsit” untuk berpose seperti itu. Tentu tidak ujug-ujug, secara tiba-tiba mereka berkreasi seperti itu. Saya menduga mereka pernah melihat sebuah foto yang memperlihatkan gaya serupa. Gaya berfoto yang terlihat bagus di mata mereka. Lalu, mereka pun menirunya.
Begitulah, anak memang mudah terpengaruh hal-hal yang dilihat dan didengarnya untuk kemudian ditirunya. Anak adalah seorang ahli copy-paste. Gaya berfoto, gaya rambut dan berpakaian sebagai contohnya.
Dalam keluarga, tingkah laku orang tuanya yang setiap hari dilihat, akan ditiru olehnya. Begitu juga cara bertutur dan pilihan kata. Orang tua yang suka minum air dengan duduk, akan ditiru oleh anaknya. Orang tua yang bertutur dengan kata-kata yang baik, juga akan ditiru oleh anaknya.
Masa remaja ialah masa meniru. Sebagian mengatakan sebagai masa mencari jati diri. Ia suka meniru sesuatu untuk menemukan jati dirinya. Ia meniru untuk menuju jati dirinya.
Tak salah pula, jika televisi dikatakan sebagai guru bagi anak yang sering menontonnya. Generasi ‘90-an ketika kecil bakal menyanyikan lagu “Pada Hari Minggu”, “Menanam Jagung”, “Bintang Kecil” dan lagu-lagu anak lainnya. Sedang, generasi sekarang sudah fasih menyanyikan lagu dengan lirik orang dewasa yang sebagiannya menjurus ke hal yang tabu. Mereka meniru dari televisi, dari panggung-panggung hiburan, dari Youtube.
Orang tua mesti lebih ekstra mengawasi dan membimbing anak yang memasuki masa remaja. Salah satu sifat remaja yaitu memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka suka melihat dan mencoba hal-hal yang baru. Hal-hal baru yang dicoba dan ditirunya itu akan memengaruhi kepribadiannya.
Anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang baik akan meniru perbuatan-perbuatan baik yang dilihatnya setiap hari. Sebaliknya, keluarga dan lingkungan yang mencontohkan hal yang tak baik, akan dengan mudah ditirukan oleh anak.
Oleh karena itu, kita perlu memberi contoh yang baik bagi anak. Agar apa yang dilihat dan didengar oleh anak ialah hal-hal yang baik. Jika setiap hari anak melihat dan mendengar hal-hal yang baik, ia akan berusaha untuk menirunya. Itulah sesungguhnya proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari.
***
Sukoharjo, 19 Agustus 2016
0 komentar:
Post a Comment