Ilustrasi gambar: www.sorotklaten.co |
Pada HUT Republik Indonesia ke-71 ini, dilaksanakan upacara pengibaran bendera di sekolah. Seusai upacara bendera, dilakukan penyerahan hadiah kepada pemenang lomba 17-an yang dilaksanakan pada hari sebelumnya. Pada cabang pertandingan sepakbola, diumumkan pemenang dan para top scorer.
Salah satu top scorer yang mendapat hadiah tersebut –kebetulan—termasuk siswa yang kurang pandai dalam akademis. Semua orang mengetahui keterbatasan kemampuan akademisnya, termasuk orang tuanya. Namun, prestasinya dalam bidang olahraga ini menjadi bukti bahwa ia memiliki kecerdasan tersendiri.
Saya hubungkan kisah di atas dengan salah satu film India yang berkesan bagi saya yaitu “3 Idiot”. Film yang dirilis akhir tahun 2009 ini merupakan salah satu film tersukses di India. Film yang dibintangi oleh Aamir Khan ini banyak menampilkan adegan yang menggambarkan “pemberontakan” terhadap sistem pendidikan yang kaku yang telah berjalan selama ini. Pendidikan yang memandang anak sebagai sebuah bahan baku untuk dibentuk menjadi sebuah produk oleh pabrik yang bernama sekolah dan perguruan tinggi. Di akhir film itu, diceritakan salah satu tokoh akhirnya direstui oleh orang tuanya untuk menjadi fotografer alam liar –sesuai cita-citanya, padahal sebelumnya sang orang tua memaksanya agar menjadi seorang insinyur.
Itulah salah satu makna kemerdekaan bagi anak. Selama ini, kita memahami teori bahwa setiap anak terlahir unik. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita juga cenderung menyetujui pendapat bahwa setidaknya ada delapan jenis kecerdasan yang menjadi potensi anak sebagaimana diungkapkan oleh Howard Gardner.
Dengan keunikan potensi kecerdasan tersebut, tentu perlakuan terhadap masing-masing anak berbeda-beda. Misalnya, siswa yang mendapat hadiah top scorer tadi, potensinya ialah dalam kinesik (olah tubuh). Tentu sangat sulit baginya mengejar prestasi teman-temannya yang pandai dalam logika ataupun bahasa. Begitu juga sebaliknya, teman-temannya belum tentu bisa mencapai prestasi dalam bidang olahraga sebagai yang diraih olehnya.
Namun, masih ada yang menganggap bahwa kecerdasan itu hanya satu atau dua jenisnya. Anak yang cerdas ialah anak yang pandai berhitung dan menghafal rumus. Anak-anak dimasukkan ke dalam bimbingan belajar mata pelajaran yang dianggap penting tersebut. Potensi, minat, dan bakat yang dimiliki anak dikesampingkan. Mungkin karena potensi tersebut tidak bisa menghasilkan nilai-nilai apik di rapor. Nilai rapor menjadi tolok ukur kecerdasan.
Dengan demikian, dengan ataupun tanpa sadar, terkadang tindakan yang diambil orang tua menjadi semacam “penjajahan” terhadap kebebasan anak. Ada anak yang benar-benar pusing dengan pelajaran Fisika, misalnya, dipaksa oleh orang tuanya untuk mengikuti les. Tapi, bakat musiknya yang menonjol diabaikan. Ada anak yang selalu lupa rumus Matematika, dipaksa oleh orang tuanya untuk mengikuti les. Namun, keterampilannya berbahasa Inggris tak dioptimalkan.
Anak dianggap sebagai “bahan mentah” yang harus dibentuk menjadi “produk yang cerdas”. Tentu cerdas yang dimaksud ialah bermakna sempit yang dibatasi oleh angka-angka di rapor. Anak dalam kondisi “terjajah”.
Ia tidak merdeka untuk mempelajari apa yang disukainya. Ia tidak merdeka untuk melakukan kegemarannya. Ia tidak merdeka untuk menentukan jalan hidupnya. Yang kita inginkan ialah kemerdekaan sepenuhnya. Kemerdekaan yang bisa dicecap oleh anak-anak kita. Kemerdekaan yang tidak hanya disimbolkan oleh kibaran merah putih atau hadiah yang dipajang di atas pinang, tetapi kemerdekaan yang bisa dirasai oleh jiwa, hati, dan pikiran.
Kita --Orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah-- mestinya mendukung anak-anak dalam menikmati kemerdekaannya. Kita tidak mengambil kemerdekaan tersebut, tapi kita membimbing, mengarahkan, membina, mendidik agar anak-anak kita menggapai apa yang dicita-citakannya.
***
Sukoharjo, 17 Agustus 2016
0 komentar:
Post a Comment