Ilustrai gambar: megapolitan.kompas.com |
ketika malam semakin kelam dan mataku belum mau terpejam atau ketika detik jam dinding membangunkanku dari mimpi lalu menyadarkanku di tengah udara dingin malam, aku suka mencengkeramai sang waktu sambil bergegas keluar rumah, sejenak duduk atau berdiri di halaman, lalu melemparkan pandangan ke atas, ke arah langit yang seolah takberbatas
aku sering takjub dengan apa yang bisa ditangkap oleh penglihatanku atas apa yang ada di atas sana, yaitu langit yang menampakkan bebintang takterhitung jumlahnya dengan intensitas cahaya yang beraneka rupa, mulai dari yang cemerlang hingga yang terlihat samar-samar, yang berpadu dalam susunan sungai susu yang indah berkilauan mengundang decak kagum yang tak henti-hentinya
rembulan pun tak kalah turut memencarkan sinar keindahan dalam wujudnya yang bundar purnama, atau ketika terlihat setengah, seperempat, menjelma sabit, yang kesemuanya memendarkan kesyahduan malam hingga pikiran pun melayang-layang menggapai sesuatu di luar materi dan logika, yang mengatakan bahwa penciptaan ini bukanlah sekadar main-main belaka
angin malam yang menyusupkan dingin di kulit seolah memberi kabar bahwa malam telah larut dan berbincangan sudah tiada terdengar, waktunya untuk merenungi alam: udara dan air, tanah dan pasir, rerumputan dan bunga-bunga, pepohonan dan gunung-gunung, sungai-sungai dan lembah, bebatuan dan emas permata, yang kesemuanya mengatakan bahwa aku ada untuk memberi pelajaran
dalam sudut terdalamnya, jiwa berkata, wahai diri, mengapa engkau menjadi orang yang bebal yang takpandai merabai alam dalam gerak dan diamnya, yang takbisa merasai gerak semesta dalam ketakterbatasan dan kefanaannya, yang takmau meresapi tanah, air, udara dalam puji dan tasbihnya
lalu, diri mulai dirambati jiwa yang merasa sepi oleh gelapnya malam, oleh dinginnya angin, oleh lirihnya gerak pepohonan, yang segera saja mengantarkannya pada kesadaran bahwa ia ada karena dicipta, ia mengada karena dicipta, ia tiada karena dicipta, lalu sekonyong-konyong hatinya luluh seperti luluhnya salju yang terhangati sinar matahari
akhirnya, dengan suara lantang batinnya berucap, Tuhan... dalam keheningan langit malam ini, aku menemukan-Mu...
(Yogyakarta, 18 Juni 2016)
0 komentar:
Post a Comment