“Selanjutnya,” ucap pembawa acara, “ialah penghargaan tertinggi sebagai ‘Dokter Terpuji’. Penghargaan ini diberikan kepada dokter yang telah memberikan banyak sumbangsih pada dunia kedokteran dan pada masyarakat umum. Sambutlah, penerima penghargaan ‘Dokter Terpuji’ tahun ini, dr. Priyamitha Wardani.”
Tepuk tangan penonton mengiringi langkah kaki seorang wanita berjilbab dengan pakaian putih yang anggun. Dialah dr. Priyamitha Wardani, biasa dipanggil dr. Mitha.
dr. Mitha melangkah menuju panggung. Ia tak menyangka terpilih sebagai ‘Dokter Terpuji’ dari ribuan dokter yang ada di Indonesia. Ia tersenyum kepada hadirin, kemudian mengucapkan salam.
“Hadirin yang berbahagia,” ucap dr. Mitha, “terima kasih atas penghargaan yang diberikan kepada saya. Sebenarnya saya selalu berusaha tulus ikhlas untuk menolong sesama. Saya mempersembahkan penghargaan yang luar biasa ini kepada seseorang yang selalu ada di hati saya. Seseorang yang menjadi motivasi saya untuk mengejar cita-cita menjadi dokter dan menolong sesama.”
Hadirin terlihat khusyuk mendengarkan. Setelah menghela napas sejenak, dr. Mitha melanjutkan, “Seseorang itu adalah ibu saya. Beliau sudah dipanggil oleh Tuhan 20 tahun yang lalu.”
“Sewaktu kecil, saya termasuk anak yang bandel,” cerita dr. Mitha, “dan ibu saya sangat sabar menghadapi saya.”
Lalu mengalirlah cerita dari dr. Mitha tentang masa kecilnya bersama ibunya. Sewaktu kecil, Mitha adalah anak yang bandel. Ia suka membantah nasehat ibunya.
***
“Mitha, sudah mengerjakan PR?” tanya ibunya.
“Sudah, Bu,” jawab Mitha dari dalam kamar. Padahal, ia belum mengerjakan dan masih asyik bermain handphone.
Mihta memang malas belajar. Nilai-nilai mata pelajarannya tidak bagus. Di rumah pun Mitha juga malas membantu ibunya.
“Mitha tolong bantu ibu memasak, ya!” pinta ibunya suatu sore.
“Nggak mau.Aku sibuk, Bu,” Mitha berasalan sibuk meskipun saat itu ia hanya malas saja membantu ibunya.
Pernah suatu kali Mitha membuat ibunya menangis ketika Mitha pulang terlalu malam. Mitha membuka pintu rumah. Didapatinya ibunya duduk di depan meja makan.
“Mitha, mengapa kamu pulang sangat malam, Nak? Ibu khawatir,” kata ibunya sambil menyambut Mitha.
“Dari rumah teman,” kata Mitha.
“Lain kali kalau mau pulang malam-malam kasih tahu ibu dulu ya. Biar ibu tidak khawatir.”
“Nggak usah pedulikan Mitha, Bu. Mitha kan sudah besar,” kata Mitha sambil terus melangkah ke kamarnya.
“Mitha, ibu sudah menunggu kamu dari tadi untuk makan bersama. Ayo makan dulu.”
“Mitha nggak lapar, Bu,” kata Mitha. “Ibu makan sendiri saja.”
Mitha masuk ke kamar. Ibunya hendak menyusul, namun pintu kamar sudah dikunci.
Ibunya merasa sangat sedih. Mitha sekarang sudah tidak mau menuruti kata-katanya. Padahal, saat balita, Mitha sangat lucu dan menggemaskan. Mengapa sekarang menjadi seperti itu.
Ibunya pun kemudian duduk di depan meja makan. Meskipun lapar, namun makanan di meja makan tidak disentuhnya. Ia merasa sedih atas kelakuan Mitha. Tak terasa air mata mengalir di pipinya. “Oh, Mitha anakku.”
Kelakuan Mitha semakin hari semakin membuat ibunya bersedih. Mitha mulai berani membantah dan berteriak kepada ibunya. Ia juga sering bermain keluar dan pulang terlalu malam.
Memikirkan kelakukan Mitha, membuat ibunya sering sakit. Batinnya yang tertekan membuat badannya ikut menaggung beban itu.
Saat pulang sekolah, Mitha mendapati ibunya tiduran di kursi sofa.
“Nak, ibu lagi sakit. Mau tidak membelikan obat ke apotek?” tanya ibunya.
“Mitha capek, bu. Mau istirahat.” Kemudian Mitha masuk kamar dan mengunci pintunya.
Ibunya sangat sedih. Dengan perlahan-lahan ia berdiri. Dengan susah payah, ia berjalan dan mengambil sepeda motor.
Ibunya mengendarai sepeda motor pelan-pelan menuju apotek. Kepalanya terasa sangat pusing. Semakin lama pandangannya semakin kabur. Ia mengendarai sepeda motor dengan oleng karena rasa pusing kepalanya makin bertambah.
Saat pandangannya semakin kabur, sebuah mobil dari arah depan melaju dengan kencang. Sudah terlambat baginya untuk menghindar. Tabrakan pun terjadi. Ia jatuh dan terluka parah.
Segera setelah mendapatkan berita ibunya kecelakaan, Mitha pergi ke rumah sakit. Dari depan pintu kamar ICU, Mitha melihat ibunya terbaring lemah dengan dipasangi selang infus dan tranfusi darah. Mitha menunggu dengan cemas. Ia tak menyangka ibunya akan kecelakaan hingga sedemikian parah.
“Kondisi ibu kamu parah,” kata dokter, “sebaiknya kamu tungguin di sampingnya.”
Mitha duduk di samping ibunya. Ia melihat wajah ibunya dengan sedih. Dilihatnya badan ibunya yang terlihat semakin kurus. Juga wajah ibunya yang terlihat semakin tua dengan banyaknya kerutan-kerutan.
Mitha merasa menyesal selama ini tidak mempedulikan ibunya. Hatinya semakin pedih karena selama ini ia malah sering membuat ibunya sedih dan menangis.
“Mitha, anakku,” kata ibunya saat siuman. “Mengapa kamu menangis, sayang?”
“Maafkan Mitha, Bu,” kata Mitha sambil menghapus air matanya.
“Ini semua salah Mitha, Bu. Seharusnya Mitha mau saat disuruh ibu membeli obat ke apotek. Ini salah Mitha, Bu.”
“Sudahlah, anakku. Jangan menangis. Kamu tidak salah apa-apa, Nak. Ini sudah takdir.”
“Mitha berjanji tidak akan membantah ibu lagi dan akan selalu membantu ibu.”
Ibunya tersenyum. “Bagus sekali, Nak.”
“Ibu cepet sembuh, ya.”
“Insya Allah, Nak. Rajinlah belajar agar cita-cita kamu berhasil. Kalau ada PR segera kamu kerjakan,” kata ibunya.
“Iya, bu. Mitha akan rajin belajar. Mitha mau jadi dokter, Bu. Mitha akan terus belajar biar jadi dokter yang bisa membuat ibu bangga.”
“Ibu senang mendengarnya. Janji sama ibu ya, kamu harus jadi anak yang baik dan rajin belajar.”
“Mitha janji, Bu.”
Setelah itu, ibunya terlihat semakin lemah dan akhirnya pingsan lagi.
Selama berhari-hari Mitha menunggui ibunya. Ia berharap ibunya segera sembuh agar ia bisa berbakti kepada ibunya. Mitha berjanji akan membuat ibunya selalu senang.
Semakin hari, kondisi ibunya semakin buruk. Mitha semakin cemas. Hingga pada pagi hari yang mendung, ibunya dipanggil oleh Tuhan. Mitha tak percaya ibunya sudah meninggal. Ia menangis tersedu-sedu di samping jasad ibunya.
***
“Demikianlah, kenangan saya bersama ibu saya,” kata dr. Mitha. “Sejak saat itu, saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh dan akan menjadi dokter yang akan menolong sesama. Semoga di alam sana, ibu saya bisa tersenyum melihat keberhasilan saya ini.
“Bagi Anda yang masih mempunyai orang tua, saya harap Anda sekalian bisa berbuat baik dan berbakti kepada mereka agar tidak menyesal ketika mereka nanti sewaktu-waktu dipanggil oleh Yang Mahakuasa.”
dr. Mitha turun dari panggung. Hadirin berdiri memberi tepuk tangan. Beberapa dari mereka terlihat menyeka air mata. Cerita masa kecil dr. Mitha membuat mereka merasa haru dan menitikkan air mata. ***
-----------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini dimuat dalam Majalah Mutiara Insan edisi 47, bulan Juli 2014
0 komentar:
Post a Comment