Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, August 17, 2016

Dilarang Membaca Novel Saat Belajar

Ilustrasi gambar: www.desainrumahnya.com

Saya bukan orang yang benci dengan pelajaran eksakta semacam Matematika dan Fisika. Nilai pelajaran Matematika saya rata-rata bagus sejak SD, baik nilai ulangan harian maupun nilai ujian akhir. Nilai Ujian Nasional saya pun patut dibanggakan. Nilai sembilan pada UN SMP dan nilai sempurna pada UN SMA. Kalau Fisika, kadang bagus, kadang lumayan bagus. Saya akui, dengan pelajaran Fisika saya memang tidak terlalu akrab. Bahkan, saat SMP dan SMA saya kadang tidak mengikuti pelajaran Fisika tanpa izin. Jika takdir mengantarkan saya menjadi guru Bahasa Indonesia –dan bukan guru Matematika—itu tidak terlalu saya risaukan. Saya berusaha menikmati apa peran saya.

Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah terkadang terasa “dipinggirkan”. Materinya dianggap mudah hingga tak ada orang tua yang memasukkan pelajaran Bahasa Indonesia dalam daftar bimbingan belajarnya. Matematika, Fisika, atau Bahasa Inggris lebih penting untuk diperhatikan. Ada satu pengalaman yang menurut saya termasuk hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Salah satu materi Bahasa Indonesia di kelas delapan yaitu membuat sinopsis novel remaja. Tentu saja, materi tersebut saya ajarkan di kelas.

Setelah menjelaskan seluk beluk sinopsis novel remaja, saya memberikan tugas kepada siswa pada akhir pembelajaran. Tugas itu ialah membuat sinopsis novel remaja yang pernah dibaca. Untuk membuat sinopsis novel, tentu saja mereka –para siswa—harus membaca novelnya sampai selesai. Saya memberi waktu kepada mereka selama dua minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Waktu selama dua minggu itu relatif --lama ataukah singkat—tergantung mereka memandangnya. Bagi siswa yang sudah terbiasa membaca novel, waktu dua minggu tersebut termasuk longgar untuk membuat sinopsis. Tapi, bagi yang belum terbiasa –atau yang belum pernah membaca satu novel pun—waktu dua minggu terasa sangat singkat.

Saya mengetahui secara umum bahwa setidaknya sepertiga siswa di kelas sudah terbiasa membaca novel. Sepertiganya sudah pernah membaca novel, tapi hanya terbilang satu sampai tiga judul. Terhadap mereka, saya yakin tugas ini tidak terlalu sulit dikerjakan. Sepertiga sisanya belum pernah membaca novel, paling banter membaca cerpen, komik, dongeng, atau cerita anak. Kelompok terakhir inilah yang kiranya perlu saya perhatikan secara khusus. Saya menyarankan bagi yang belum terbisa membaca agar membaca novel yang tidak terbal. Saya meminta mereka mencari novel di perpustakaan dan pinjam kepada teman, selain tentu saja saya membawakan beberapa novel tipis untuk mereka pinjam.

Setelah satu minggu berjalan sejak tugas membuat sinopsis itu saya berikan, saya mengecek hasil aktivitas membaca para siswa. Lebih dari setengah dari jumlah siswa di kelas sudah membaca satu judul novel. Sebagian malah sudah mulai membuat sinopsis. Setengah sisanya belum menyelesaikan. Ada yang baru sampai bab-bab awal, ada yang sudah hampir di bab-bab akhir.

Saya menanyakan kepada para siswa: bagaimana tanggapan orang tua saat kalian membaca novel?

Ada yang menjawab, “Tidak boleh membaca, jadinya membaca novel hanya hari Sabtu dan Minggu.” Mereka boleh membaca pada hari Sabtu dan Minggu karena merupakan libur pekanan. Hari Sabtu masuk untuk kegiatan ekstrakurikuler saja.

“Lebih penting Matematika,” tambah yang lain. Di sini, terlihatlah dengan jelas kedudukan pelajaran Bahasa Indonesia dibandingkan pelajaran lain di mata sebagian orang tua.

“Disuruh belajar,” kata siswa lainnya. Mendengar jawaban itu, saya merasa geli. Jadi, dalam pandangann sebagian orang, yang namanya belajar yaitu mengotak-atik angka atau menulis sesuatu di buku tulis. Aktivitas membaca cerita tidak dianggap sebagai aktivitas membaca.

Pandangan tersebut terasa menggelikan sekaligus memprihatinkan menurut saya. Jadi, membaca novel itu tidak dianggap sebagai aktivitas belajar.

“Kalau kalian belajar Matematika, yang dipelajari ya angka-angka. Kalau kalian belajar Bahasa Indonesia, yang dipelajari ya kata-kata,” demikian kata saya kepada mereka sambil menengadahkan harap agar mereka lebih sering membaca buku.

Pandangan seperti ini –bahwa membaca buku cerita tidak dianggap belajar-- masih dianut sebagian orang tua –atau bahkan malah guru? Seorang teman bercerita bahwa ada sebuah sekolah yang di perpustakaannya tidak ada novel dan para siswanya tidak diperbolehkan membaca novel. Novel dianggap sebagai barang hiburan yang membuat anak menjadi malas. Lebih banyak keburukan dalam membaca novel daripada kebaikannya.

Menghadapi persoalan tersebut, saya pun tak bisa berbuat banyak. Yang bisa saya lakukan ialah menularkan kecintaan membaca kepada para siswa saya. Saya memberikan contoh dengan membaca buku saat waktu luang di sekolah dan membawa buku-buku bacaan ke sekolah –kadang juga saya bawa ke kelas.

***
Sukoharjo, 16 Agustus 2016



0 komentar:

Post a Comment