Para siswi sedang khusyu membaca buku |
Saya selalu bertanya kepada para siswa setelah mereka selesai mengerjakan Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional: soal apa yang sulit dikerjakan? Sebagian siswa mengeluhkan bahwa soal ujian Bahasa Indonesia terlalu banyak teksnya.
Dibandingkan pelajaran lain, soal Bahasa Indonesia memang yang paling tebal. Saya pernah menemukan soal ujian Bahasa Indonesia setebal 16 halaman. Butir soalnya memang didominasi oleh teks: kutipan berita, kutipan biografi, kutipan laporan, kutipan novel, kutipan cerpen, kutipan novel, puisi, dll.
Wajar menurut saya. Dan hal tersebut malah bagus. Pembelajaran Bahasa Indonesia memang diarahkan pada pembelajaran berbasis teks. Siswa dibiasakan untuk membaca teks secara langsung. Materi hafalan teori semisal kelas kata, pembentukan kata, pola kalimat tetap ada tetapi diintegrasikan dalam sebuah teks. Tujuannya memang bagus: agar siswa memiliki keterampilan membaca yang baik.
Kesulitan sebagian siswa dalam mengerjakan soal yang banyak teksnya tersebut membuat saya berpikir. Jika para siswa tidak terbiasa membaca, mereka tetap akan kesulitan memahami teks. Bahkan, tidak mungkin mereka akan merasa stres terlebih dahulu saat melihat soal yang berisi kutipan teks yang melimpah.
Saya pun mengambil sebuah hipotesis bahwa siswa perlu dibiasakan membaca teks agar pemahaman mereka terhadap teks bisa meningkat. Dengan demikian, soal ujian pun akan lebih mudah dikerjakan. Saya akan mengajak dan “memaksa” siswa untuk membaca.
Pada tahun pelajaran 2015/2016 lalu, saya pun menerapkan program “Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran”. Saya memulainya dengan satu kelas terlebih dahulu. Saat itu saya masuk kelas dengan membawa sebuah boxset buku-buku karya Roald Dahl. Para siswa tampak tertarik dengan apa yang saya bawa.
Saya menjelaskan program “Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran” yang segera diikuti sorak kegembiraan oleh mereka. Mereka bersorak mungkin karena mereka bisa membaca buku sebelum pelajaran atau mungkin juga karena bisa bersantai sejenak sebelum pelajaran. Mulai saat itu saya meminta mereka membawa bahan bacaan (nonpelajaran) setiap pelajaran Bahasa Indonesia. Bisa majalah, koran, novel, cerpen, puisi, ensiklopedia, pengetahuan umum, dll.
Progam saya tersebut memang seiring langkah dengan program Penumbuhan Budi Pekerti yang termuat dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang ditandatangi oleh Mendikbud saat itu, Anis Baswedan. Pada bagian lampiran tentang kegiatan gerakan Penumbuhan Budi Pekerti disebutkan salah satunya ialah mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh dengan kegiatan wajib “menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari)”.
Saya menduga tidak banyak sekolah yang sudah menerapkan apa yang digariskan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tersebut, khususnya tentang kegiatan membaca buku 15 menit sebelum hari pembelajaran. Termasuk sekolah tempat saya mengajar, tidak ada program membaca buku di pagi hari karena setiap pagi di sekolah saya sudah dijalankan program yang sangat bagus, yaitu membaca dan menghafal Al-Quran.
Oleh karena itu, saya mencoba mengajak dan “memaksa” siswa untuk membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran Bahasa Indonesia. Jika dalam satu minggu ada dua kali pertemuan berarti siswa minimal membaca buku selama 15 menit selama dua kali dalam seminggu. Hal tersebut bagi siswa yang belum terbiasa membaca atau bahkan merasa “terpaksa” membaca. Bagi siswa yang sudah terbiasa membaca tentu mereka memiliki waktu luang yang bisa digunakan untuk membaca buku.
Pada tahun pelajaran 2016/2017 ini, saya mengajar Bahasa Indonesia di tiga kelas. Saya menerapkan program “Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran” pada satu kelas. Dalam waktu dekat akan saya terapkan lagi pada satu kelas. Sedang, satu kelas sisanya mungkin baru tahun depan. Saya memang perlahan-lahan menerapkannya, mengingat kondisi dan karakteristik para siswa di setiap kelas.
Harapan saya, agar aktivitas membaca menjadi aktivitas harian siswa dan buku menjadi teman setia sepanjang waktu. Dengan kebiasaan membaca mereka akan mendapatkan pengetahuan yang melimpah yang sangat berguna bagi masa depan mereka, bahkan bisa menjadikan mereka tokoh pembaru di masa yang akan datang. Sebagaimana diungkapkan oleh Antoni Ludfi Arifin dalam bukunya Be A Reader bahwa kegemaran membaca (reading interest) akan menjadi sebuah kebiasaan membaca (reading habits). Kebiasaan membaca akan menciptakan karakter yang haus ilmu atau bacaan (reading character) sehingga mampu mengubah peradaban, yaitu budaya masyarakat yang suka membaca (reading culture).
***
Sukoharjo, 21 Agustus 2016
0 komentar:
Post a Comment