Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, November 13, 2012

Ksatria Kecil dari Desa

“Aaaa….”
Blub… blub… blub…
“Eh, kelelep, kelelep! Tolongin tuh!”

Saat kulemparkan tubuhku ke dalam air, seketika itu juga seolah-olah ada sesuatu yang menarikku ke bawah sampai kepalaku timbul tenggelam di air. Aku coba menghentak-hentakkan kakiku, tapi semakin keras hentakan kakiku, sesuatu yang menarik kakiku tadi juga semakin kuat menarik ke bawah. Aku takut.

Aku melihat teman-temanku yang berada di atas bertingkah layaknya seorang pemain pantomim yang sedang beraksi di atas panggung. Aku merasa ada aliran air melewati kerongkonganku. Aku tersedak dan aku merasa air yang melalui kerongkonganku semakin banyak. Aku semakin takut.

Seperti seorang petani yang dikaruniai panen yang melimpah, atau seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, begitulah perasaanku saat aku merasakan ada sesuatu yang menarikku ke atas. Ternyata sesuatu itu adalah tangan salah satu temanku yang bernama Didik. Aku ditariknya sehingga kepalaku muncul di permukaan air.

“Haha... Kris, Kris! Makanya kalau nggak bisa berenang nggak usah nyemplung ke kali. Haha...”

Kudengar tawa yang keras dari temanku yang lain yang berbadan subur, Hartanto. Tawa yang menunjukkan kesenangannya itu, terdengar di telingaku seperti suara mesin gergaji. Sungguh tak enak didengar. Dan rasanya aku ingin mendorongnya ke air biar dia tahu rasanya kelelep.
“Heh, emangnya tadi siapa yang menyuruh aku nyemplung dan bilang kalau sungainya dangkal!” sahutku keras setelah aku berhasil mengatur kembali nafasku yang tadi sempat ngos-ngosan.

“Haha... Nggak apa-apa Coy! Yang namanya orang lagi belajar berenang, kelelep sekali-kali itu sudah biasa. Yang penting nggak kelelep terus hilang,” kata Subardi, temanku yang paling tua diantara kami.
“Buat pengalaman aja Coy!”
“Lain kali hati-hati! Sudah sore nih. Ayo kita pulang!”

***

Begitulah pengalamanku belajar berenang di sungai bersama teman-temanku beberapa bulan lalu, dan tentu saja saat ini aku sudah bisa berenang. Tempat tinggalku di desa sehingga merupakan hal yang lumrah kalau anak-anak kecil bermainnya tidak di taman, tidak di supermarket, tidak pula di wahana permainan, tetapi di sungai, di sawah, atau di kebun belakang rumah. Anak-anak desa sudah terbiasa bermandi lumpur sawah, berenang di sungai sambil mencari ikan dan udang, atau berakrab-akraban dengan binatang melata semacam kadal atau ular.

Yang menjadi tempat favoritku adalah sungai yang berjarak lima belas menit perjalanan kaki dari desaku. Kali Samin namanya. Perjalanan mencapai sungai itu melewati sawah-sawah petani yang akan tampak menghijau kala masa pertumbuhan padi dan akan tampak menguning kala masa panen tiba. Aku dan teman-temanku biasa melalui jalur kereta api yang berada di atas tanggul.

Dari atas tanggul itu aku bisa melihat sebuah pemandangan alam yang sangat indah. Hamparan hijau padi dipadu dengan rimbunnya pepohohan di pinggir jalan-jalan setapak. Tampak serumpun pepohonan di kejauhan yang menjadi background dan burung-burung terbang menghiasi langit. Apalagi kalau langit sedang berbaik hati menampakkan keindahan sketsanya dengan kemegahan candik ayunya atau kemewahan pelanginya. Sungguh indah karya Sang Pencipta yang ditampakkan pada desaku.

Petani adalah pekerjaan paling favorit bagi warga desaku, itu pun karena memang wilayah desaku yang banyak terdapat sawah dan tempatnya terpencil. Mranggen nama desaku. Menurut para orang tua, nama itu dipakai karena dulu di desaku banyak orang yang membuat keris yang sering dipanggil dengan sebutan mranggi. Maka jadilah desaku diberi nama Mranggen, yang artinya tempat orang-orang membuat keris. Tetapi sekarang tidak ada orang di desaku yang membuat keris.

Begitupun nama kelurahannya juga diambil dari nama pekerjaan orang-orang yang membuat peralatan dari besi yaitu pandi, maka nama kelurahannya adalah Pandeyan. Kelurahan Pandeyan merupakan lingkup dari kecamatan Grogol yang sebagian besar daerahnya adalah pertanian. Orang tuaku merupakan petani sejati yang setiap hari bergelut dengan dunia belalang, ulat, dan lumpur. Sekali-kali aku juga ikut membantu pekerjaan di sawah seperti ngeblak, dhaut, nyorok, atau sekedar mengantar makanan ke sawah.

Saat panen adalah saat yang ditunggu-tunggu, tidak saja oleh petani tetapi juga oleh kami, anak-anak desa Mranggen. Sudah menjadi tradisi sewaktu akan panen, para petani akan menempatkan beberapa makanan yang dibungkus daun jati pada beberapa tempat di sawahnya. “Untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada Dewi Sri,” begitu kata orang-orang tua. Tentu saja makanan-makanan itu menjadi sasaran “operasi” kami.

Kami berlomba berusaha mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan makanan itu, tak jarang masing-masing kami mengeluarkan jurus sikut sana sikut sini, tarik sana tarik sini. Tak peduli apa yang ditarik, makanan, batang padi, baju temannya, atau celana kolor temannya. Apapun yang terpegang oleh tangan akan ditarik. Setelah selesai “kompetisi” itu, biasanya kami akan membagi rata makanan yang kami dapat. Dan kami akan lari tunggang langgang kalau ketahuan petani yang punya sawah tersebut karena saat kompetisi perebutan makanan semacam itu tak jarang batang-batang padi menjadi korban.

Masa-masa panen memang menyenangkan. Petani akan merasa tenteram karena mendapatkan padi yang melimpah. Tak salah kalau kabupatenku mempunyai slogan “SUKOHARJO MAKMUR”, karena memang para petani hidupnya makmur saat masa panen. Masa-masa itu memang padi sangat melimpah di negeri ini. Saking melimpahnya padi selama beberapa tahun, negeri ini mendapatkan penghargaan swasembada pangan dari FAO-PBB, tepatnya pada tahun 1984.

Sebagai orang desa, kethoprak dan wayang adalah tontonan wajib bagi orang tuaku. Sampai-sampai namaku diambilkan dari nama salah satu tokoh pewayangan. Ayahku mengatakan kalau Sukrisno Santoso yang menjadi namaku diambil dari nama tokoh wayang yang terkenal dengan kesaktian dan kebijaksanaannya yang selalu menjadi pelindung Pandhawa yaitu Prabu Kresna. Sedangkan awalan Su mempunyai arti sesuatu yang baik, serta Santoso mempunyai arti kuat atau tangguh. Sungguh sebuah nama yang mempunyai sebuah harapan yang tinggi.

Sejak kecil aku dikenal anak yang pemberani, begitulah kata orang tuaku. Aku tidak takut kalau keluar malam sendirian untuk ke kamar mandi, karena kamar mandinya berada di luar rumah. Sedang kakakku akan minta ditemani kalau mau ke kamar mandi. Ibu bilang, aku menjadi anak pemberani karena aku dulu dilahirkan pada waktu sekitar jam dua belas malam. Tetapi sebagai anak kecil aku tetap takut dengan mimpi buruk seperti dikejar pocongan atau jatuh dari tempat tinggi. Mimpi buruk memang menjadi hiasan bagi anak kecil.

Di desaku sering diadakan bancakan. Sedangkan ibuku akan mbancaki aku setiap hari Selasa Pon, hari yang merupakan weton-ku, hari kelahiranku. Tepatnya tanggal sepuluh bulan keenam aku dilahirkan, setidaknya begitulah yang tertera di akta kelahiranku. Pada tahun kedua setelah penghargaan FAO-PBB itu aku mulai melihat dunia, lahir dari pasangan Cipto Wardoyo dan Sri Mulyati, kedua orang tuaku. Bagiku merekalah orang tua yang paling baik sedunia.

Kakakku yang laki-laki waktu kecil sering sakit. Sehingga orang tuaku mengganti namanya dari Wahono menjadi Suwarno. Sudah menjadi kepercayaan orang desa kalau mengganti nama akan mendatangkan keberuntungan. Dua tahun selisih umurku dengan kakakku. Sedang kakakku yang perempuan yang lebih tua tiga tahun dari kakak laki-lakiku sejak kecil dididik mandiri oleh orang tuaku karena dia adalah anak sulung. Dia mempunyai nama yang bagus, meski aku tidak tahu artinya yaitu Safitri Nurtiningsih.


0 komentar:

Post a Comment