Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, November 13, 2012

Lelaki Hujan


Pukul 13.35 WIB...

Terik matahari yang setengah hari membakar udara di segenap penjuru sekolahku kini tertutup oleh arakan awan kelabu. Panas sang raja siang itu meninggalkan bekas kunjungannya pada wajah-wajah remaja yang baru pulang sekolah. Wajah mereka tampak lesu, pucat, dan tertekuk karena menahan udara panas setengah hari ini. Itulah hasil kreasi musim pancaroba di awal bulan September. Panas membakar pada sebagian hari dan curahan hujan yang lebat pada sebagian yang lain.

“Kris, sepertinya akan hujan nih. Bagaimana ini?” tanya Joko.
“Nggak apa-apa. Kita nekat aja kalau nanti hujan. Toh, cuma hujan air bukan hujan batu.”

Aku, Joko, dan Mega adalah tiga serangkai pencari ilmu. Kami teman satu desa dan kebetulan juga bersekolah di tempat yang sama yaitu SLTP Negeri 1 Mojolaban. Kami selalu bersama-sama saat berangkat dan pulang sekolah.

“Kris, mulai gerimis nih,” kata Mega sambil menengadahkan tangannya.
“Sudah setengah perjalanan ini. Tanggung kalau kita berhenti.”

Dengan sepeda onthel kami bertiga biasa menyusuri jalan sejauh empat kilometer, jarak dari rumah ke sekolah. Udara dingin pagi hari dan panas terik siang hari menjadi teman akrab bagi kami. Juga butiran air hujan dari langit yang akhir-akhir ini sering menjenguk bumi, tak lupa menyapa kami meninggalkan rasa dingin di seluruh tubuh.

“Hujan deras Kris! Aku mau berteduh dulu,” kata Mega sambil membelokkan sepedanya ke pinggir jalan mencari tempat berteduh.
“Ya sudah, aku duluan ya!”

Hujan hari ini deras. Aku dan Joko, seperti hari-hari sebelumnya, tetap nekat menerobos butiran-butiran air hujan. Tetapi tidak demikian dengan Mega. Sahabatku yang bertubuh jangkung ini lebih suka berteduh menghindari siraman air langit. Mega dan aku berbeda persepsi tentang hujan. Mungkin dia tidak suka dengan hujan sehingga setiap hujan turun, dia akan cepat-cepat mencari tempat berteduh. Sedangkan aku lebih senang bermandikan air hujan daripada harus terpenjara waktu di emperan toko. 

Dengan dihujani beribu air hujan, aku mengayuh sepeda onthel-ku lebih semangat. Aku dengarkan suara gemericik air hujan seperti irama melodi yang menyanyikan lagu riang. Aku ikuti irama khayalan itu dengan bersiul, menikmati rasa dingin karena seluruh tubuh basah kuyub.

Kenikmatan bersenandung bersama air hujan berakhir tatkala aku sampai di rumah dengan disambut oleh omelan ibu. Ibu selalu mewanti-wanti aku agar aku berteduh kalau hujan turun.

***

Pukul 08.15 WIB...
Tom and Jerry menjadi suguhan untukku pagi ini. Segelas nescafe menemaniku di sela-sela senyum geliku melihat tingkah konyol kucing dan tikus dalam sketsa orang Barat itu. Hari ini bukan hari minggu. Ini hari Sabtu. Ini juga bukan hari libur nasional. Hari ini adalah hari aku meliburkan diri. Ya, aku tidak masuk sekolah dengan alasan “malas”. Lebih tepatnya aku membolos karena aku tidak melayangkan surat izin ke sekolah.

Inilah salah satu hobi yang aku asah sejak duduk di kelas dua. Hari Senin dan Sabtu adalah hari favoritku untuk melaksanakan hobiku ini. Hal itu dikarenakan pada dua hari tersebut ada pelajaran yang tidak aku sukai, PPKn dan Fisika serta kegiatan upacara yang aku paling malas mengikutinya. Daripada berpanas-panasan dengan matahari dan berpusing ria dengan dua mata pelajaran itu, lebih nikmat menyeruput
kopi dengan ditemani oleh Tom and Jerry.

Di kelasku tidak hanya aku yang suka membolos. Tri ‘Stro’ Martono, Andi, Arba’in, Teguh ‘Pongge’, Suryadi, Very ‘Bogel’, dan Galih ‘Gendut’ adalah teman-temanku “seperguruan”. Aku bersama mereka adalah langganan hadir dalam ruang BP. Di ruangan itulah kami biasa mendapat “ceramah” dari guru BP tentang pentingnya kedisiplinan dalam belajar. Kemudian kami diwanti-wanti untuk rajin masuk sekolah.

Tri ‘Stro’ Martono yang menjadi ketua kelas, adalah raja dari perguruan membolos kami. Kebiasaan membolosnya sudah tidak ketulungan lagi. Dia ditunjuk menjadi ketua kelas oleh wali kelas kami dengan harapan agar kebiasaan membolosnya berkurang. Tetapi sepertinya tindakan wali kelas kami itu seperti menggarami air laut saja.

Di antara pelajar yang hobi membolos tercipta sebuah persahabatan yang erat. Aku sendiri paling akrab dengan Tri ‘Stro’ Martono. Ada keuntungan tersendiri bisa akrab dengan ketua kelas yang berbadan kekar dan berkulit hitam itu. Setidaknya aku tidak pernah mendapat gangguan dari siswa lain, karena aku punya pelindung yaitu sang ketua kelas yang “memegang” sekolah.

***

Pukul 05.50 WIB...

“Eh, malas banget mau ikut Matematika nih!”
“Yeah, kamu itu kan memang malas sekolah, Ngge!” sahut Galih ‘Gendut’ menanggapi kata-kata Teguh ‘Pongge’.

Pagi-pagi kami sudah ngetem di tempat parkir. Kami, murid-murid kelas 3E mempunyai jadwal jam tambahan yaitu jam ke-0 pukul enam pagi. Menjadi murid penghuni kelas tiga membuat beban belajar kami bertambah, apalagi mendekati ujian nasional. Tiga kali dalam seminggu kami mempunyai jadwal jam tambahan. Mau tidak mau, jam enam pagi kami harus sudah ada di kelas.

Beban jam pelajaran tambahan itu sangat memberatkan bagiku dan sebagian teman-temanku. Masuk jam tujuh saja aku sudah malas, apalagi masuk jam enam. Ketika udara masih dingin menusuk dan suasana masih gelap, harus mengguyurkan air dingin ke tubuh sungguh sebuah aktivitas yang terpaksa dilakukan dan menyiksa dirasakan. Aku berpikir, kenapa sekolah harus berangkat pagi-pagi. Kenapa harus ada jam pelajaran tambahan untuk mendapatkan secuil ilmu. Seperti itulah pikiran seorang pemalas.

“Kita tidak usah ikut pelajaran aja gimana?” kata Arba’in dengan pandangan penuh harap agar usulnya yang “brilian” itu disetujui. Arba’in yang berpostur tinggi memang sering meluncurkan kata-kata provokasi.

“Iya, kita tidak ikut aja. Malas. Mendingan di sini aja sampai jam tujuh. Nanti kita masuk jam tujuh pas pelajaran Bahasa Inggris,” Teguh ‘Pongge’ menyahut memberi secercah harapan pada Arba’in.
“Gimana kalau kamu Kris?”
“Aku idem aja. Tidak ikut pelajaran juga malah lebih enak.”

Itulah satu episode yang kami lakonkan pada pagi itu. Kejadian seperti itu tidak hanya sekali terjadi. Sering guru kali hanya mendapati murid yang perempuan saja yang berada di kelas. Memang begitulah kami, murid-murid kelas 3E. Suatu hari kami, sepuluh orang, merencanakan aksi membolos bersama. 

Pada jam pelajaran Bahasa Inggris, kami sepakat “cabut” dari sekolah. Maka, jadilah kami berada di rumah Tri ‘Stro’ Martono sedang memancing ikan. Tri ‘Stro’ Martono memang mempunyi kolam ikan di rumahnya. Sebagai imbalan atas kelakuan kami tersebut, esoknya guru BP memanggil kami. Jadilah kami duduk takzim di ruangan BP mendengarkan “ceramah” lagi.

***

Pukul 06. 50 WIB...

Pelanggaran kedisiplinan tidak hanya dimonopoli kaum adam saja. Para hawa kelas 3E tidak mau kalah dalam hal ini. Hari Senin, seperti biasanya diadakan upacara. Segenap warga sekolah berbondong-bondong menuju lapangan upacara. Sedangkan di kelas kami sedang terjadi provokasi untuk tidak mengikuti upacara.
“Nanti kan ada ujian praktek olahraga, sekarang kita tidak usah ikut upacara aja. Kan capek kalau harus upacara dulu kemudian ujian praktek olahraga.”

Begitulah provokasi dimulai. Tentu saja aku dan teman-teman “seperguruanku” setuju dengan ide segar itu. Kemudian satu per satu murid laki-laki menyatakan seiya sekata dengan kami. Murid-murid perempuan pun tidak kalah unjuk keberanian, atau mungkin kekonyolan. Karena terbawa teman, satu per satu mereka mengikuti keputusan kami. Maka, kami berdiam di kelas sedangkan warga sekolah yang lain bermandi sinar matahari yang mulai panas.

Setiap tindakan pasti ada konsekuensinya. Tindakan kami yang tidak mau mengikuti upacara mendapatkan balasan yang setimpal dari guru BP. Setelah upacara selesai, giliran kami yang merasakan sapaan matahari. Selama satu jam kami satu kelas dipanggang di depan bendera merah putih yang berkibar. Mengetahui hal itu, wali kelas kami berucap, ”Kalian benar-benar kompak,” sambil beliau menggeleng-gelengkan kepala. Mendapat komentar seperti itu kami hanya bisa tersenyum polos layaknya senyuman anak kecil yang tidak mempunyai dosa.

Saat penerimaan raport adalah saat yang menyenangkan. Saat menerima raport, tidak hanya nilai-nilai mata pelajaran yang aku lihat dan aku perbandingkan dengan raport teman-temanku, tetapi aku juga membandingkan banyaknya hari aku tidak masuk sekolah tanpa keterangan alias membolos.

Di antara kami akan merasa bangga jika catatan tidak masuk sekolahnya paling banyak. Arba’in, Teguh ‘Pongge’, dan Tri ’Stro’ Martono serta tak ketinggalan aku, pernah memenangi “kompetisi” ini. Cacatan rekor terbaikku adalah sembilan belas kali tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Dengan rekor seperti itu, maka rata-rata dalam satu minggu aku membolos satu kali. Sungguh rekor yang membanggakan, tetapi tentu saja tidak patut untuk ditiru.

Berbagai tindak pelanggaran yang kami lakukan membuat guru-guru kami merasa khawatir kalau kelas kami akan ada murid yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional. Kelas 3E memang terkenal kreatif (baca: bandel). Saat Ujian Akhir Nasional, kelas kami menjadi kuda hitam. Tak ada yang menjagokan kami untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Bahkan guru-guru ada yang memprediksi kalau di kelas kami akan ada murid yang tidak lulus.

Kuasa Tuhan memang tak terbatas dan kehendak Tuhan tiada yang tahu. Saat pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Kelasku lulus semua dan lebih mengejutkan lagi kelasku mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan kelas lain. Sungguh tak dapat dipercaya.
Guru-guru kami bertanya-tanya, “Kok bisa ya?”


0 komentar:

Post a Comment