Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, November 13, 2012

Sahabat Merah Putih

Hari masih pagi. Matahari belum muncul menampakkan sinar kemerahannya. Embun pagi pun masih asyik bersemedi di atas permukaan dedaunan. Burung-burung liar masih bermalas-malasan di dalam sarangnya. Udara dingin masih menusuk membekukan setiap persendian.

Dengan wajah lesu dan jalan sempoyongan aku menuju kamar mandi menunaikan hajat rutin setiap pagi. Tusukan seribu jarum pada setiap inchi kulit, aku rasakan saat menyiramkan segayung air di atas kepala. Brrrr...dingin. Hari ini ada pelajaran olahraga, jadi aku harus berangkat lebih pagi. Celana dan kaos olahraga warna biru sudah menanti untuk aku pakai.

“Le, ayo sarapan dulu!” kata ibuku sambil menyodorkan sepiring nasi yang masih mengepulkan asap.
“Tidak sempat Bu, ini lagi terburu-buru kok,” kataku sambil mengencangkan tali sepatu sebelah kiri.
“Biarpun terburu-buru tapi tetap harus sarapan dulu.”

Aku ambil sepiring nasi itu dan aku ambil telor dadar di meja. Aku tidak suka dengan sayur. Sepiring nasi hangat dan telor dadar, itulah sumber energi yang melalui kerongkonganku setiap pagi.

Setiap Jumat ada pelajaran olahraga. Gurunya adalah Pak Parmin. Aku senang dengan guru yang satu ini. Beliau sering mengeluarkan candaan saat mengajar. Saat olahraga praktek seperti sepak bola atau kasti, beliau juga ikut bermain. Sepak bola merupakan olahraga favorit bagiku dan teman-temanku. Kami biasa bermain sepak bola di lapangan di daerah padang rumput.

Sewaktu kelas empat SD, sekolah kami yang kekurangan ruang kelas, menempatkan kami dalam gedung Dharma Tirta untuk proses belajar mengajar. Sekolah semacam SD Negeri 1 Pandeyan yang berada di desa memang tak akan mengharapkan bisa membangun ruang kelas tambahan karena terkendala masalah yang klasik, yaitu dana.

Gedung Dharma Tirta tempat kami belajar dikelilingi oleh sawah dan ladang. Hal itu membuat suasana belajar menjadi tenang dan nyaman. Tidak ada suara teriakan anak kelas lain, tidak ada suara tangisan anak perempuan, dan tidak ada suara lonceng. Yang menemani kegiatan belajar adalah suara burung emprit atau burung prenjak yang sesekali hinggap di atas atap. Juga suara dari kejauhan, teriakan petani yang mengusir burung-burung yang memakan padinya yang telah menguning.

Sepetak sawah petani pernah kami jadikan tempat praktek. Ada pelajaran muatan lokal Pertanian dan prakteknya adalah menanam padi. Jadi kami anak-anak desa yang sudah terbiasa bergumul dengan lumpur sawah tidak merasa canggung menanam padi. Bahkan hal itu adalah sebuah kesenangan dalam belajar bagi kami yang memakai seragam merah putih.

Musim hujan adalah masa yang menyenangkan. Aku dan teman-teman SD maupun teman desa biasa bermain sepak bola di sore hari. Ketika hujan mulai turun, kami akan tetap bermain tak mempedulikan pakaian basah dan lapangan mulai berlumpur. Hal itu adalah sebuah kesenangan tingkat tinggi bagi kami.

Masa yang tak juga kalah serunya adalah saat bulan Ramadhan tiba. Saat bulan Ramadhan aku sering tidur di masjid. Bersama dua orang temanku, Andi dan Edi, aku biasa mengisi malam-malam Ramadhan di dalam masjid. Bukan untuk i’tikaf memperbanyak amal ibadah, tetapi hanya untuk berkumpul dan tidur bersama di masjid.

Terkadang kami juga menginap di rumah salah satu dari kami. Yang paling aku senangi adalah menginap di rumah Andi. Orang tua Andi adalah pedagang buah, jadi berada di rumah Andi serasa berada di istana buah. Dan kami pun menghabiskan malam dengan menonton televisi atau bermain kartu sambil mengisi perut kami dengan berbagai macam buah.

Saat tiba dini hari, kami keliling desa membangunkan orang-orang yang akan membuat masakan sahur dengan memukul-mukul alat seadanya seperti bambu, botol, atau ember sambil berteriak, “Sahur...sahur...”. Udara dingin tak menyurutkan langkah kami berjalan setapak demi setapak melewati satu per satu rumah penduduk. Meskipun bau mulut menyengat hidung, suara yang keluar tetap lantang menggema di segenap sudut desa. Kegiatan seperti itu banyak didukung oleh warga desa. Kalau semalam saja kami tidak berkoar-koar, mereka akan bertanya-tanya. Mungkin karena itulah sebagian dari warga merelakan mangga mereka kami petik tanpa meminta setiap malam.

Dalam malam-malam bulan Ramadhan, buah manggalah yang paling sering menemani kami sebagai teman bergadang. Kami biasa memetik mangga tetangga tanpa meminta. Pernah suatu kali aku celaka saat memetik mangga dari pohon milik tetangga.

“Ayo kamu saja yang memanjat pohonnya,” kata Edi.
“Kenapa harus aku?” sahutku, “Kamu saja yang badannya kecil.”
“Kamu kan yang paling jago memanjat pohon Kris.”

Akhirnya aku pun memanjat pohon mangga itu. Karena sering memanjat pohon, aku tidak merasa kesulitan untuk mencapai dahan pohon yang banyak mangganya. Saat aku mengulurkan tanganku untuk memetik sebuah mangga yang terlihat matang, tiba-tiba aku melihat sesuatu yang bergerak cepat di balik dahan. Aku kaget. Karena kagetnya, aku tersentak. Dan tahu-tahu aku sudah berada di bawah. Aku merasakan pergelangan kakiku sakit.

“Heh, kenapa Kris? Kenapa kamu bisa jatuh?” tanya Andi.
“Aduh, kakiku sakit nih! Tadi aku kaget melihat sesuatu yang bergerak di sana. Aku nggak tahu itu hewan apa.”
“Ayo coba kita cari tahu apa yang kamu lihat”

Aku dan teman-temanku melemparkan pandangan menyusuri tiap-tiap dahan dan daun pohon mangga itu. Aku tak dapat melihat apa-apa selain coklatnya kulit kayu dan hijaunya daun.

“Eh, itu lihat yang di sana itu. Yang warnanya coklat itu,” kata Andi sambil menunjuk salah satu dahan pohon.
“Mana, mana?”
“Eh, iya itu. Wah, ternyata itu bunglon.”
“Iya bunglon. Pantas susah nyarinya. Warnanya coklat seperti kayu itu.”
“Oh, bunglon ya. Aduh, kakiku tambah sakit nih!” kataku sambil memegangi pergelangan kakiku yang terasa makin sakit.
“Bisa dipakai buat jalan nggak?”

Aku mencoba berdiri dengan berpegangan pada pohon mangga. Aku pijakkan kaki kiriku ke tanah dan aku lepaskan peganganku pada pohon. Seketika itu juga rasa sakit dan nyeri yang amat sangat menjalar di sekitar pergelangan kakiku dan rasa nyeri itu merambat sampai ke paha. Aku pun duduk kembali sambil meringis mengelus-elus kakiku.

“Sakit banget nih! Aku nggak bisa jalan.”

Akhirnya aku pun pulang digendong oleh Andi. Sesampainya di rumah, setelah aku ceritakan kejadian itu kepada ibuku, ibuku hanya bilang, “Lain kali hati-hati ya Le!”

Lebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu olehku dan oleh orang-orang desa lainnya. Saat lebaran, tiba-tiba saja orang-orang menjadi murah senyum dan baik hati. Para orang tua membelikan pakaian baru untuk anaknya. Sebagian dari mereka memberikan bungkusan gula-teh kepada saudara yang lebih tua. Uang berterbangan di desa dalam bentuk pakaian baru dan berbagai makanan. Sejenak, desa menjadi hidup, ramai, dan bergairah.

Orang-orang membuka tabungan mereka demi kesenangan yang hadir hanya satu kali dalam satu tahun itu. Lebaran, sebuah masa yang membangkitkan roh konsumtif pada tiap-tiap jiwa warga desa. Kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, ataupun muda ikut larut dalam budaya yang merakyat ini. Dan tentu saja, para pedagang yang meraup untung segudang karena meladeni keinginan setiap orang yang tidak terbendung.

Setelah lebaran, semua akan kembali seperti sedia kala. Orang-orang tua kembali ke sawah, para perantau kembali ke daerah rantauan, dan anak-anak desa kembali bergulat dengan lumpur di sawah atau mengejar burung di lapangan. Tetapi ada yang berbeda dengan wajah anak-anak itu. Mereka terlihat ceria. Tentu saja mereka ceria, karena di rumah mereka mempunyai uang yang banyak dan pakaian baru. Aku adalah salah satu dari anak-anak itu.

Saat yang paling menentukan di SD tentu saja saat ujian nasional. Tiba-tiba para siswa menjadi rajin belajar dan rajin shalat. Para orang tua menjadi lebih memperhatikan kegiatan belajar anaknya. Demam belajar melanda seluruh sekolah. Semua dilakukan oleh mereka untuk mendapatkan selembar surat sakti. Selembar surat yang menentukan belajar siswa selama enam tahun. Selembar surat yang membedakan orang antara orang pintar dan orang bodoh.

Berbeda dengan mereka, aku malah merasa malas belajar saat mendekati ujian. Aku malah kadang tidak masuk sekolah kalau sedang benar-benar malas. Aku tidak terlalu takut dengan ujian sebagaimana kebanyakan orang yang mendewakan ujian sehingga mereka merasa takut dan memujanya sebagai jalan untuk menjadi orang pintar dan sukses. Hari-hari ujian aku lewati seperti hari-hari biasa. Malah terasa menyenangkan karena teman-temanku menjadi suka belajar semua.

Saat menunggu hasil ujian, suasana sekolah menjadi terasa menegangkan. Aku sendiri merasa biasa saja karena aku tidak terlalu mengharapkan nilai yang tinggi. Kalau untuk lulus saja, aku yakin aku bisa. Delapan, itulah rata-rata nilai ujianku. Nilai yang wajar menurutku. Menurut perhitunganku, dengan nilai segitu aku akan bisa masuk ke SLTP yang aku harapkan yaitu SLTP Negeri 1 Mojolaban.

Penyerahan Surat Tanda Tamat Belajar dari SD merupakan jembatan bagiku menuju SLTP. Sudah saatnya aku menanggalkan seragam merah putih agar aku bisa memakai seragam biru putih.
 
 

0 komentar:

Post a Comment