Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, November 14, 2012

Peraduan Cinta


Tak percaya Marsya membaca surat yang ia terima sepulang sekolah tadi. Surat dari seseorang yang selama ini dia kasihi. Surat dari Faris. Rasa tak percaya pada isi surat itu, membuat Marsya membacanya lagi.

Tuk: Marsya
Di peraduan kasih

Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh
Marsya, sebelumnya aku ucapkan terima kasih atas kebahagiaan yang kamu selipkan dalam hampa sepi kehidupanku selama ini. Tak pernah aku membayangkan bisa mendapatkan kasih sayangmu. Karena kamu adalah salah satu penghuni bumi yang begitu indah dan sempurna. Melalui kecantikan dan keanggunanmu, Sang Pencipta menampakkan keagungan-Nya.
 
Marsya, saat-saat bersamamu tentu adalah hal yang sangat membahagiakanku. Melewati hari bersamamu adalah masa terindah.

Marsya, empat tahun sudah kita bersama-sama. Tanpa mengurangi rasa cintaku kepadamu, kini dengan segenap permohonan maafku, aku katakan kepadamu bahwa sekarang ini aku telah menemukan Cinta yang lain. Cinta sebenar-benarnya cinta. Dan Cintaku yang sekarang ini melebihi cintaku kepadamu.

Marsya, kini dengan cinta itu aku berani tegas mengambil keputusan. Aku tegaskan, mulai sekarang aku mohon kepadamu untuk menjauhi aku. Karena aku takut Cintaku yang sekarang akan cemburu karena aku dekat denganmu. Karena Cintaku sangatlah pencemburu.

Marsya, tahukah siapa cintaku yang sekarang? Dialah Sang Pencipta jagad ini. Dialah Yang Maha Esa. Dan aku tak akan pernah mau melepaskan-Nya lagi karena cinta yang lain. Dan saat ini aku sadar, aku tak bisa bersamamu lagi karena batas-batas cinta yang ditetapkan-Nya.

Marsya, jangan kamu sesali keputusanku ini. Berusahalah untuk dekat dengan Cintaku, maka kamu pun akan dekat denganku. Percayalah, kalau kita ditakdirkan-Nya untuk bertemu dalam kebahagiaan, niscaya itu akan terjadi.
Marsya, sekali lagi maafkan aku.
Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh

 
Dari
Pecinta Sang Cinta
Faris

 
Hati Marsya terasa terbebani seribu gunung. Tujuh langit ia rasai runtuh di atas kepalanya. Dan segenap air samudra seakan menyesaki dadanya. Ia rasakan bagai berada dalam ruang sempit yang menghimpit dan semakin menghimpit. Pipinya terasa dingin oleh aliran lembut yang keluar dari matanya. Dinding kamarnya yang bercat pink dan biru muda, dalam pandangan matanya menjadi kelabu dan menghitam. Dan akhirnya hilang dalam pandangannya.

***

“Marsya, ayo makan dulu sebelum berangkat sekolah,” kata mama yang melihat Marsya turun dari tangga dan langsung berjalan ke arah pintu tanpa mampir ke meja makan.
“Marsya lagi nggak mood makan, Ma. Nanti aja Marsya makannya. Marsya juga lagi terburu-buru. Marsya berangkat dulu ya, Ma!” sahut Marsya sambil menutup pintu.
“Pak Badri, ayo berangkat!” kata Marsya kepada Pak Badri, sopir keluarganya.

Di dalam mobil dalam perjalanan menuju sekolah, pikiran Marsya terfokus pada isi surat dari Faris kemarin. Matanya sembab menghitam karena tak bisa tidur semalaman. Dan tentu saja karena menangis semalaman. Marsya memang sudah melihat gelagat aneh pada diri Faris sejak dua minggu lalu. Faris biasanya selalu menanti Marsya saat pulang sekolah dan akan mengantarnya pulang dengan sepeda motornya. Faris juga sering mengajaknya keluar saat malam minggu, atau mengajaknya bermain ke tempat wisata atau sekedar jalan-jalan ke mall. Tapi mulai dua minggu lalu Faris jarang muncul di hadapannya.

Perubahan Faris ia rasakan setelah Faris berkawan dengan sekelompok anak kelas Bahasa, yang oleh teman-teman Marsya anak-anak kelompok itu sering dipanggil dengan sebutan ikhwan-ikhwan. Marsya pun curiga, mungkin ikhwan-ikhwan itu yang mempengarui Faris.

“Faris kenapa kamu begini?” tanya Marsya kepada Faris suatu kali saat ia berkesempatan bertemu dengan Faris.
“Marsya, maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakitimu. Tapi aku yakin keputusan yang aku ambil ini adalah jalan yang terbaik,” jawab Faris lembut dengan nada datar.
“Tapi Ris, apa waktu empat tahun tidak berarti bagi kamu?”

“Itu waktu yang sangat berarti buatku, Marsya. Waktu yang membuatku bahagia karena kasih sayang dan perhatianmu. Sekaligus waktu yang aku sesali.”
“Apa maksud kamu?”
“Sekarang ini aku hanya berusaha mendekatkan diri kepada Yang Esa, Marsya. Dan dalam pemahamanku saat ini bahwa cara-cara kita mengungkapkan cinta selama ini adalah salah. Selama ini dan saat ini kita tidaklah diperbolehkan untuk bersama-sama karena kita belumlah terikat sucinya tali pernikahan. Yakinlah, kalau kita jodoh, kita akan pasti dipertemukan-Nya nanti dalam kebahagiaan.”

Marsya sudah menganggap Faris adalah belahan jiwanya. Segala cara akan ia lakukan untuk mendapatkan Faris lagi.

“Ris, aku sangat mencintaimu. Aku akan mengikuti jalanmu biar kita bisa tetap bersama. Kamu pengen aku apa? Ikut kajian? Pakai kerudung? Aku akan lakuin itu semua Ris. Demi kamu. Asal kita tidak berpisah,” kata Marsya dengan nada tegas saat memjumpai Faris di taman sendirian.
“Tidak Marsya! Untuk menjalankan perintah-Nya, semua harus dilandasi keikhlasan. Kalaupun kamu akan berubah, berubahlah memang karena Dia, bukan karena aku. Sudah Marsya. Tak baik kita berlama-lama sendirian di sini.”

Marsya seperti sudah tidak mengenal Faris lagi. Faris menjadi pendiam dan lebih sering berkumpul dengan ikhwan-ikhwan kelas Bahasa itu. Faris yang pernah melambungkan mimpinya jauh tinggi ke angkasa, kini seperti menghempaskan dirinya ke dasar jurang terdalam. Mimpi-mimpi hidup bahagia bersama Faris diluluhlantakkan sendiri oleh pujaan hatinya. Faris semakin menjauh. Dan ia semakin terpuruk. Kehidupan Marsya seperti sudah tamat. Game over. The End.

Marsya sudah tak bisa berpikir rasional. Kepergian Faris membuatnya benar-benar jatuh. Nilai pelajaran sekolah turun drastis. Sekolah bagaikan penjara baginya, yang mengekangnya dari keceriaan. Ujian akhir sudah dekat dan ia masih disibukkan dengan kepedihan kesendiriannya.

Akhirnya Marsya bisa lulus meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun sebaliknya, Faris mampu mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya. Melanjutkan studi ke perguruan tinggi, membuat Marsya tidak dapat bertemu lagi dengan Faris. Marsya ke Bandung, sedang Faris ke Solo. Pikir Marsya, mungkin itu lebih baik buat dia agar bisa melupakan Faris, meski hati Marsya masih merasa berat kehilangannya sosok orang yang pernah memberikan kabahagiaan kepadanya, meski Cuma selama empat tahun.

***

Sudah delapan bulan perpisahan Marsya dan Faris. Marsya tetap tak bisa melupakan Faris. Di tengah-tengah kesibukan kuliahnya, kadang Marsya menangis di sunyi malam ketika mengenang kebersamaannya dulu bersama Faris. Selama ini Marsya yakin kalau Faris adalah cinta sejatinya sehingga ia tidak bisa menerima perpisahan itu.

Suatu siang saat memasuki sebuah warung makan di depan kampusnya, Marsya melihat seorang wanita dengan seorang bayi di gendongannya sedang memesan makanan. Wanita itu memakai kerudung hitam besar. Bukan wanita itu yang menarik perhatian Marsya, tetapi bayi mungil yang digendongnya. Bayi kecil yang lucu. Karena ketertarikannya, Marsya mendekati wanita itu.

“Selamat siang! Boleh saya duduk di sini?” tanya Marsya mencoba berlaku sopan.
“Selamat siang, boleh saja duduk di sini. Silakan!” jawab wanita itu dengan diselingi senyuman.
“Perkenalkan, saya Marsya.”
“Saya Aisyah.”
“Wah, anaknya lucu banget. Cantiknya! Imut-imut, jadi pengen nyubit pipinya! Berapa bulan anak Ibu ini?”
“Anak saya ini sudah berusia tujuh bulan. Eh, sepertinya saya pernah melihat Anda bersama Risma. Anda temannya Risma?”
“Iya, saya teman Risma. Anda teman Risma juga? Wah, kebetulan sekali.”

***

Dari Risma, Marsya akhirnya tahu tentang wanita yang bernama Aisyah yang ditemuinya siang tadi. Dan yang membuat Marsya terkejut adalah bahwa Aisyah masih kuliah, semester lima dan suaminya juga masih kuliah semester tujuh. Marsya berpikir, bagaimana bisa seorang wanita mempunyai suami dan anak saat masih kuliah.

“Mbak Aisyah itu baik banget lho! Dia sering ngajarin aku ngerjain tugas. Semester kemarin dia dapat nilai IP tertinggi. Suaminya, Mas Fahri jadi ketua LDK di kampus kita. Mereka hebat ya, berani nikah saat kuliah. Mereka memang pasangan yang klop banget,” terang Risma dengan penuh semangat.

Ah, sungguh beruntung Mbak Aisyah. Dia sudah mendapatkan belahan jiwanya. Sedangkan aku.... Aku iri dengan kehidupan Mbak Aisyah. Pikiran Marsya melayang mengingat kembali kisah cintanya yang kandas. Dan bening air mata mulai membasahi pipinya.

***

Tiga tahun kemudian.

“Hi...hi... Mas bisa aja mujinya!” kata Marsya dengan suara manja.
“Bener kok. Kamu malam ini adalah bidadari bagiku. Lihatlah dirimu, begitu cantik dan anggun. Tak ada tandingannya di dunia ini,” sahut Faris dengan nada merayu.

Setelah mereka melaksanakan shalat dan membaca doa, keduanya beriring menuju ranjang berkelambu biru muda yang sudah dihias dengan berbagai macam bunga.
“Dik, udah siap?”
“Hm..? Siap apa Mas?”
“Apa nggak pengen cepet-cepet punya anak yang lucu-lucu dan imut-imut?” genit suara Faris merayu.
“Ah, Mas bisa aja!”

Malam itu Marsya merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Ia ingat saat bertemu dengan Aisyah. Kemudian ia mulai diajak Aisyah ikut kajian dan akhirnya Marsya mulai memakai jilbab. Setelah lulus kuliah pun Marsya masih aktif mengikuti kajian. Melalui Aisyah ia dita’arufkan dengan seorang ikhwan. Dan ternyata ikhwan yang dita’arufkan dengannya tak lain adalah Faris, kekasihnya selama empat tahun saat di SMA dulu.

Kalau jodoh memang tak akan kemana, bisik Marsya dalam hatinya sebelum ia menyerahkan segenap jiwa raganya pada Faris, suaminya malam itu. Dan rembulan di laur sana tersenyum tersipu menyaksikan keindahan cinta dua insan yang sedang menyempurnakan setengah agamanya.

 
*Sukoharjo, 21 Maret 2009


0 komentar:

Post a Comment