Suatu pagi yang dingin saat matahari saja enggan menampakkan diri, aku diboncengkan ayahku dengan sepeda melewati rumah-rumah tetangga. Kemudian hamparan sawah terlewati dan padang rumput yang luas yang sempat tertangkap mata yang masih mengantuk ini tertinggal di belakang.
Sampai di depan sebuah rumah yang besar, aku diturunkan dari sepeda. Kemudian ayahku menggandengku berjalan melewati sebuah pagar besi yang berwarna hijau. Di depan rumah besar itu ada sebuah papan putih yang bergambar.
“Pak, itu apa?” tanyaku sambil menunjuk papan putih itu.
“Itu papan nama TK ini. Lha, itu ada tulisannya, dibaca TK PANDEYAN.”
TK Pandeyan, aku ingat-ingat nama itu. Dalam area rumah besar yang kata ayahku bernama TK Pandeyan itu aku melihat sebuah ayunan yang diduduki oleh dua anak pada masing-masing ujungnya. Ayunan itu naik turun. Ingin rasanya aku duduk di ayunan itu, tetapi ayahku masih saja terus menuntunku masuk ke dalam rumah besar hingga ayunan tadi hilang dari pandanganku.
Itu adalah saat pertama aku masuk TK. Kepolosan seorang anak desa membuatku tak banyak bicara kecuali ada yang bertanya. Seorang wanita yang memakai baju putih yang dipanggil “Bu Guru” oleh anak-anak lain tak henti-hentinya mengumbar senyum. Tentu bukan senyum murahan, tetapi senyum yang sangat menyenangkan yang membuatku merasa tidak takut pada dunia baruku hari itu.
Hari-hari berikutnya, aku sudah mulai mengenal beberapa teman. Diantaranya Didik dan Iva. Setiap pagi Didik menghampiriku berangkat sekolah. Lalu kami akan berangkat bersama melangkahkan kaki di jalan-jalan tanah yang belum diaspal. Setelah melewati tanggul rel kereta api, kami tiba di rumah Iva. Aku, Didik, dan Iva kemudian berangkat bersama menuju TK melewati sebuah lapangan yang luas.
Lapangan itu ditumbuhi banyak rerumputan. Sebuah padang rumput yang hijau. Kami biasa bermain kejar-kejaran di padang rumput itu. Kalaupun jatuh tak akan sakit karena rumputnya tebal-tebal. Setelah melewati padang rumput itu kami tiba di tempat tujuan, muara anak-anak kecil di desaku yaitu TK Pandeyan.
Sekolah di TK, apalagi kalau bukan nyanyian yang diajarkan dengan sedikit pelajaran membaca dan menulis. Lebih seringnya menghafal nama-nama binatang. Tentu saja anak-anak usia TK senang melihat gambar-gambar binatang yang ditunjukkan guru.
Saat di TK aku lebih dekat dengan ayahku. Ayahku adalah ayah yang sangat peduli dengan kepalaku. Hal itu terbukti dengan seringnya aku diajak ke rumah seorang laki-laki yang sudah tua yang selalu terlihat dengan gunting dan sisir di tangannya. Di rumah orang tua itu aku didudukkan pada sebuah kursi kemudian orang tua dengan gunting dan sisirnya itu mulai memegang-megang kepalaku.
Sampai di depan sebuah rumah yang besar, aku diturunkan dari sepeda. Kemudian ayahku menggandengku berjalan melewati sebuah pagar besi yang berwarna hijau. Di depan rumah besar itu ada sebuah papan putih yang bergambar.
“Pak, itu apa?” tanyaku sambil menunjuk papan putih itu.
“Itu papan nama TK ini. Lha, itu ada tulisannya, dibaca TK PANDEYAN.”
TK Pandeyan, aku ingat-ingat nama itu. Dalam area rumah besar yang kata ayahku bernama TK Pandeyan itu aku melihat sebuah ayunan yang diduduki oleh dua anak pada masing-masing ujungnya. Ayunan itu naik turun. Ingin rasanya aku duduk di ayunan itu, tetapi ayahku masih saja terus menuntunku masuk ke dalam rumah besar hingga ayunan tadi hilang dari pandanganku.
Itu adalah saat pertama aku masuk TK. Kepolosan seorang anak desa membuatku tak banyak bicara kecuali ada yang bertanya. Seorang wanita yang memakai baju putih yang dipanggil “Bu Guru” oleh anak-anak lain tak henti-hentinya mengumbar senyum. Tentu bukan senyum murahan, tetapi senyum yang sangat menyenangkan yang membuatku merasa tidak takut pada dunia baruku hari itu.
Hari-hari berikutnya, aku sudah mulai mengenal beberapa teman. Diantaranya Didik dan Iva. Setiap pagi Didik menghampiriku berangkat sekolah. Lalu kami akan berangkat bersama melangkahkan kaki di jalan-jalan tanah yang belum diaspal. Setelah melewati tanggul rel kereta api, kami tiba di rumah Iva. Aku, Didik, dan Iva kemudian berangkat bersama menuju TK melewati sebuah lapangan yang luas.
Lapangan itu ditumbuhi banyak rerumputan. Sebuah padang rumput yang hijau. Kami biasa bermain kejar-kejaran di padang rumput itu. Kalaupun jatuh tak akan sakit karena rumputnya tebal-tebal. Setelah melewati padang rumput itu kami tiba di tempat tujuan, muara anak-anak kecil di desaku yaitu TK Pandeyan.
Sekolah di TK, apalagi kalau bukan nyanyian yang diajarkan dengan sedikit pelajaran membaca dan menulis. Lebih seringnya menghafal nama-nama binatang. Tentu saja anak-anak usia TK senang melihat gambar-gambar binatang yang ditunjukkan guru.
Saat di TK aku lebih dekat dengan ayahku. Ayahku adalah ayah yang sangat peduli dengan kepalaku. Hal itu terbukti dengan seringnya aku diajak ke rumah seorang laki-laki yang sudah tua yang selalu terlihat dengan gunting dan sisir di tangannya. Di rumah orang tua itu aku didudukkan pada sebuah kursi kemudian orang tua dengan gunting dan sisirnya itu mulai memegang-megang kepalaku.
Sesaat kemudian rambutku berguguran ke bawah. Ketika pulang dari orangtua itu dengan kepala plontos aku dibelikan permen yang banyak oleh ayahku. Setelah sampai di rumah, aku langsung menuju ke padang rumput menyusul teman-temanku yang sudah bermain duluan. Saat melihatku, teman-temanku tertawa sambil memegang-megang kepalaku. Jadilah kepalaku mainan bagi mereka.
Di padang rumput yang luas itu aku dan teman-temanku biasa bermain. Kejar-kejaran, lempar-lemparan, atau tunggang-tunggangan. Bermain apa saja yang penting kami senang. Saat sore di tempat tersebut orang-orang besar bermain bola. Aku dan teman-temanku menonton sambil teriak-teriak meskipun kami tidak tahu permainan apa yang mereka mainkan.
Kerbau, sapi, kambing, ayam, dan berbagai binatang peliharaan sering hadir mengisi padang rumput itu. Tak lupa burung liar semacam burung puyuh, emprit, atau prenjak menyempatkan diri mampir di sela-sela rimbunnya rerumputan. Burung-burung itu menjenguk padang rumput hanya sebentar karena kami yang melihatnya akan berlari mengejarnya laksana seorang pemburu profesional, padahal yang kami dapatkan hanya sejumput rumput dan nafas yang ngos-ngosan, sedang burungnya sudah mengudara kembali mencari tempat yang nyaman, jauh jauh dari gangguan dari makhluk lain semacam kami.
“Eh, ini aku punya permen. Nanti aku lempar permennya, kalian tutup mata dulu terus kalian cari ya! Yang menemukannya boleh memilikinya,” kata Didik kepada kami sambil memperlihatkan segenggam permen beragam warna di tangannya.
Kami menutup mata. Setelah beberapa saat, Didik mengatakan kalau dia sudah menyebarkan permen di tempat-tempat tersembunyi. Kemudian kami mencari permen-permen itu di balik rerumputan. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan permen yang pertama. Warnanya yang mencolok yang sangat kontras dengan warna rumput, membuat permen-permen itu dengan mudahnya ditemukan. Permainan seperti itu memang sering kami mainkan di padang rumput.
Sekolah TK tidaklah meninggalkan sesuatu yang terkenang. Mungkin karena memang kerja otak ini yang belum maksimal sehingga belum bisa merekam dan mencerna kejadian-kejadian di TK. Yang pasti paling aku ingat adalah waktu ayahku datang ke TK kemudian guruku memberikan sebuah buku kepada ayahku.
“Le, nanti kamu masuk SD,” begitu kata ayahku sambil tersenyum. SD. Aku bertanya-tanya apa itu SD. Kemudian untuk apa aku masuk SD, dengan siapa aku masuk SD. Apakah Didik dan Iva juga akan masuk SD. Pernyataan ayahku itu membuatku merasa takut. Takut menghadapi sesuatu yang baru yaitu SD.
0 komentar:
Post a Comment