Seorang lelaki shalih duduk di atas bangku panjang di halaman masjid. Angin berhembus pelan, sesekali agak kencang sehingga menggugurkan daun-daun pohon akasia yang menaungi lelaki shalih itu.
Sore yang cerah itu, dengan memegang mushaf di tangan, melantunlah ayat-ayat suci dari lisannya yang fasih. Betapa merdunya, betapa menggetarkannya suara itu. Seakan-akan dedaunan yang beterbangan ikut menikmati syahdunya lantunan ayat-ayat Tuhan. Pohon-pohon pun bergoyang seirama naik turunnya irama qira’ahnya.
Siapa yang tak tertarik pada lelaki shalih itu. Dialah yang menjadi muazin masjid. Dia yang mengajar anak-anak TPQ membaca Al-Quran. Wajahnya selalu tenang dan bercahaya. Seakan-akan sinar rembulan selalu berpancar dari wajahnya.
Sore itu ayat-ayat suci menjadi hidangan bagi ruhaninya. Dirasakan oleh lelaki shalih itu bahwa hidupnya bergitu tenang, bahagia. Tiada beban dan tekanan. Namun, menginjak usianya yang hampir dua puluh lima, ia terkadang merasa kesepian. Tentu ia ingin segera menemukan pendamping hidupnya sehingga lengkaplah agamanya.
Sore yang cerah itu di sela-sela merdu lantunan ayat-ayat suci Tuhan, sesekali pikirannya melayang tak tentu arah. Kemudian saat sadar ia mengucap istigfar berkali-kali karena telah melalaikan ayat-ayat yang mestinya ia hadapi dengan kekhusyukan.
Tiada bisa dipunkiri lagi. Duduknya di bangku panjang di bawah pohon akasia sore itu -dan sore-sore sebelumnya- karena maksud tertentu. Bayangan warna biru muda menyeruak dalam pikirannya. Sesosok gadis dalam balutan jilbab yang anggun telah menyita hati dan pikirannya.
Ia sudahi bacaan Qurannya. Ia letakkan mushaf di atas bangku di sampingnya. Pikirannya semakin melayang sebagaimana daun-daun yang melayang-layang di depannya. Lalu datanglah angin utara yang agak kencang kembali menggugurkan daun-daun pohon akasia lebih banyak. Hembusan angin itu juga membawa kedatangan sesosok gadis berjilbab biru muda. Berjalan perlahan seperti sedang menikmati taburan dedaunan yang menghujani kerudungnya.
Lelaki shalih itu terpana. Pandangan matanya seperti mempunyai kehendak sendiri. Kehendak itu adalah menikmati keindahan sosok yang berjalan menyusuri jalan di depan masjid itu. Saat sadar akan khilafnya ia menundukkan pandangan dan mengucap istigfar. Namun, sesaat kemudian, matanya sudah melekat pada sosok gadis itu lagi.
Lelaki shalih itu sudah kecanduan. Ia telah meminum secawan anggur dan ia ingin meminumnya lagi, lagi, dan lagi. Betapa manis anggur terasa baginya meskipun sesungguhnya ia hendak menolaknya. Ia pun menyalahkan matanya atas pandangannya yang berhasrat.
Saat gadis berjilbab biru muda itu mulai menjauh, barulah lelaki shalih itu sedikit demi sedikit mendapatkan kesadarannya. Hatinya bergetar, tangannya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Kemudian ia menundukkan kepala dalam-dalam. Mengucap istigfar dengan lirih, terus-menerus.
Ia mengakui kekhilafannya. Lalu dengan tangan yang masih bergetar ia bermaksud mengambil mushaf yang berada di sampingnya. Berharap lantunan ayat-ayat suci akan mampu mengobati hatinya dan menghapus dosanya. Diraihnya mushaf itu. Namun, karena tangannya masih bergetar, tanpa sadar mushaf itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. “Astagfirullah” teriak lelaki shalih itu dengan keras.
*Sukoharjo, 26 November 2012
0 komentar:
Post a Comment