Para pemeran pementasan drama "Permadi - Prameswari" |
Karya: Sukrisno Santoso
***
BABAK 1
***
Menurut catatan sejarah, setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, berdirilah kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa. Ialah Kasultanan Demak dengan sultan pertamanya yaitu Raden Patah. Kasultanan Demak mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang perdagangan. Pelabuhan yang dibangun di pesisir pantai utara, menjadi pusat perdagangan antarnegara.
Kasultanan Demak bercita-cita mempersatukan Tanah Jawa agar terjalin kekuatan yang dapat menghalau ancaman dari luar seperti penjajah. Kasultanan Demak juga berusaha menyebarkan agama Islam di seluruh Tanah Jawa. Beberapa kerajaan kecil di Tanah Jawa menerima ajaran yang disebarkan oleh para Sunan utusan Demak. Namun, beberapa kerajaan yang lain menolak. Bahkan, ada yang terang-terangan memusuhi Kasultanan Demak.
Di salah satu kerajaan yang memusuhi Kasultanan Demak, hiduplah seorang pemuda yang gagah, tampan, dan baik hatinya. Raden Permadi namanya. Permadi merupakan putra tertua Prabu Prajaka yang memerintah kerajaan tersebut.
Raden Permadi, sang pemuda gagah itu kini hatinya sedang gundah-gulana. Malam-malamnya diisi oleh kerinduan yang menelusup ke dalam jiwanya. Seorang wanita telah mencuri hatinya. Siapakah gerangan wanita yang memikat hati Raden Permadi. Ialah Prameswari, wanita yang ayu, lembut tuturnya, dan halus budinya. Prameswari adalah putri seorang senopati Demak, yaitu Senopati Priyambaka.
Alkisah, Prameswari bersama para Bawangnya, yaitu Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Ungu, dan Bawang Bombay, sedang bercengkrama di belakang kediaman Senopaten.
***
(Prameswari, Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Ungu, dan Bawang Bombay masuk ke atas panggung diiringi irama instrumen lagu Jawa “Gethuk”)
Prameswari : Sik, sik. Tak absen dhisik. Bawang Merah?
Bawang Merah : Hadir!
Prameswari : Bawang Putih?
Bawang Putih : Sendika dhawuh, Tuan Putri!
Prameswari : Bawang Ungu?
Bawang Ungu : Kula!
Prameswari : Bawang Bombay?
Bawang Bombay: Iya, iya, saya hadir, Tuan Putri! Bawang Bombay selalu hadir untuk Tuan Putri!
Prameswari : Para Bawangku, sore-sore begini enaknya kita ngobrol santai. Apa ada yang membawa sebuah berita?
Bawang Bombay: Iya, iya, Bawang Bombay membawa berita heboh. Kalian tahu nggak?
Bawang Merah : Nggak tahu. Memang ada apa Bawang Bombay?
Bawang Bombay: Masak nggak tahu sih?!
Bawang Ungu : Ye iye lah. Lha kamu belum ngasih tahu apaan.
Bawang Bombay: Oh, iya, ya. Eh, aku ada info terbaru, up to date. Dengar-dengar, prajurit Demak sedang menyiapkan diri. Katanya akan ada serangan.
Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Ungu: Hah?! Serangan?!
Bawang Bombay: Iya, ada pasukan besar yang akan menyerang Demak.
Bawang Putih : Wah, kojur iki Mbak Yu.
Prameswari : Sudah, sudah. Jangan terlalu khawatir. Apa yang dikatakan oleh Bawang Bombay belum tentu benar. Mungkin itu hanya gosip infotainmen. Bawang Bombay, kamu jangan terlalu banyak menonton televisi.
(Permadi bersama tiga pengawalnya, yaitu Bendul, Jon, dan Waluyo masuk ke atas panggung diiringi irama instrumen lagu Jawa “Cucak Rawa”. Para pengawal berdiri di depan, sedangkan Permadi di belakang)
Bawang Ungu : Tuan Putri, mereka siapa?
Bawang Putih : Kalau dilihat dari pakaiannya, sepertinya mereka prajurit.
Bawang Merah : Iya. Tapi, sepertinya mereka bukan prajurit Demak. Hati-hati, Tuan Putri. Kita pergi saja dari sini, Tuan Putri!
Bawang Bombay: Iya, Tuan Putri, kita pergi saja dari sini. Atau kita teriak panggil para prajurit Senopaten.
Bawang Ungu : Coba kita tanyai mereka, Tuan Putri!
Prameswari : Cobalah kamu tanyai mereka, Bawang Merah!
Bawang Merah : Oke, Tuan Putri! (berdehem) Uler keket mlaku ngidul. Sampeyan sapa kok ujug-ujug njedul?
Bendul : Tak jawab, yo! Uler keket mlaku ngetan. Aku lan kanca namung tiyang dolan. Lha, kalian ini siapa? Dari tadi terlihat bersandau gurau dan tertawa.
Bawang Putih : Kami ini para Bawang. Aku Bawang Putih, ini Bawang Merah, ini Bawang Ungu, dan ini Bawang Bombay..
Waluyo : O… o… kalian para Bawang, ya. Kalian tampak ayu dan bersahaja. Siapakah bendara kalian?
Bawang Bombay: Bendara kami itu Putri Prameswari, yang terkenal kecantikan dan kelembutannya di Demak ini.
Bawang Merah : Kalian, sebenarnya siapa, kalian pasti prajurit karena kalian membawa panah dan tombak.
Bawang Putih : Iya, untuk apa kalian membawa senjata berupa tombak dan panah?
Jon : Bawang Putih yang jelita, ini panah bukan sembarang panah. Panah ini mempunyai kegunaan yang khusus.
Bawang Putih : Memang apa kegunaan panah itu?
Jon : Panah ini untuk memanah hatimu. (Memperagakan gerakan memanah) Tahu nggak itu tadi panah cinta buat kamu.
Bawang Putih : (Tersipu malu) Masnya lucu, ya.
Bawang Bombay: Kalian sukanya mengganggu saja, kalian pergilah dari sini!
Jon : Eh, lha dalah… yang ini galak ternyata. Aku panah juga (memperagakan gerakan memanah) Tahu nggak, itu tadi panah beracun buat kamu.
Bawang Bombay: Huh, pergilah dari sini sebelum kami panggilkan para prajurit senopaten.
Bawang Merah : Iya, cepat pergi!
Prameswari : Sebentar, sebentar. Aku sepertinya mengenal pemuda di belakang itu. Itu Permadi. Putra Prabu Prajaka. Aku mengenalnya.
Permadi : (maju ke depan, berdehem) Prameswari!
Prameswari : Iya, Kakang Permadi!
Prameswari : Semakin hari, engkau di mataku semakin ayu saja.
Para pengawal : Cie… cie…
Permadi : Husss… diam. Kroco-kroco ngganggu saja.
Prameswari : Kakang Permadi, mengapakah engkau masih berani ke sini. Kalau para prajurit Senopaten melihatmu, niscaya engkau akan ditangkap. Engkau tahu bahwa ayahmu sangat memusuhi Demak. Sedangkan ayahku adalah salah satu senopati kepercayaan Sultan Demak. Engkau menantang bahaya dengan datang ke sini.
Permadi : Prameswari, seribu gunung kan kudaki, seribu lautan kan kuseberangi, hanya untuk bertemu dengan engkau.
Para pengawal : Cie… cie…
Prameswari : Kakang Permadi, cepat kembalilah sebelum ada prajurit Senopaten yang datang ke sini.
Permadi : Prameswari, bolehkan aku bertanya kepadamu?
Prameswari : Silakan, Kakang Permadi.
Permadi : Prameswari, bapak kamu tukang pukul bedug, ya?
Prameswari : Kok tahu?
Permadi : Karena kamu telah menjedug-jedugan hatiku. Ahai…..
Permadi : Aku mau bertanya lagi, Prameswari. Bapak kamu petinju, ya?
Prameswari : Kok tahu?
Permadi : Karena kamu telah mengklepek-klepekan hatiku. Ahai…..
Permadi : Aku mau bertanya lagi, Prameswari. Bapak kamu jualan bakso, ya?
Prameswari : Kok tahu?
Permadi : Karena aku kemarin jajan tapi masih ngutang.
Prameswari : Kakang Permadi, apa tujuanmu kemari?
Permadi : Prameswari, sudah berulang kali aku mengungkapkan perasaanku kepadamu. Berulang kali pula engkau menghindar. Prameswari, aku berniat hendak menyuntingmu?
Para Bawang : Hah? Menyunting?
Bawang Bombay: Bahaya ini, Tuan Putri. Bahaya.
Bawang Merah : Berani sekali dia mau melamarmu, Tuan Putri. Usir saja dia, Tuan Putri.
Prameswari : Maksud engkau memang baik untuk menyuntingku Raden Permadi. Namun, sayang engkau dan aku berbeda agama. Lagipula, engkau adalah Permadi, putra Prabu Prajaka, yang memusuhi Kasultanan Demak sejak dulu.
Permadi : Apalah arti sebuah nama. Sekuntum bunga mawar, tetap memiliki keharuman yang sama meski disebut dengan nama lain[1]. Jika bisa, ingin ku lahir bukan sebagai putra raja,bukan sebagai Permadi sehingga aku bisa berkasih denganmu tanpa terintang apapun.
Prameswari : Kembalilah, Kakang Permadi.
Permadi : Kamu membuatku galau tingkat tinggi, Prameswari. Tapi, ketahuilah, wahai Prameswari, aku akan senantiasa menjaga hatiku ini, siapa tahu suatu hari nanti engkau bukakan pintu hatimu. Sampai jumpa, Prameswari.
(Permadi bersama tiga pengawalnya pergi meninggalkan panggung)
***
(Senopati Priyambaka datang kemudian berbicara kepada Prameswari)
Priyambaka : Duh, putriku, permata hatiku, mengapakah wajahmu tampak lesu begitu?
Prameswari : Ayahanda, aku ra papa. Ada apa ayahanda datang kemari?
Priyambaka : Begini putriku, tadi siang dilaksanakan musyawarah di Kasulatanan. Intinya, prajurit Demak harus disiagakan karena mendapat ancaman dari kerajaan lain. Ayahandamu ini mendapat kehormatan untuk senopati utama memimpin pasukan di garis depan. Sungguh ini adalah sesuatu yang membanggakan.
Prameswari : Ah, ayahandaku tercinta, itu suatu kehormatan. Akan tetapi, tentu aku sangat mengkhawatirkan keselamatan ayahanda.
Priyambaka : Jangan khawatir putriku. Kematian sudah ditakdirkan Allah. Ini adalah kesempatanku untuk membela agama, membela negara, membela tanah air. Meskipun mengorbankan nyawa, itu adalah suatu kehormatan.
Prameswari : Ah, ayahandaku, engkau memang patriot sejati.
Priyambaka : Langit sudah beranjak gelap. Segeralah masuk ke dalam, Prameswari.
Prameswari : Iya, sebentar lagi ayahanda. Silakan ayahanda masuk terlebih dahulu.
(Senopati masuk ke dalam rumah [meninggalkan panggung])
Bawang Bombay: Mengapakah wajah Tuan Putri tampak bersedih? Janganlah bersedih, Tuan Putri! Ayah Tuan Putri adalah senopati yang gagah berani. Beliau insya Allah berhasil menghadang serangan pasukan musuh.
Prameswari : Aku memang mengkhawatirkan keselamatan ayahku, wahai para Bawang! Namun, aku juga mengkhawatirkan keselamatan Permadi.
Bawang Merah : Hah? Permadi? Mengapa Tuan Putri mengkhawatirkan keselamatannya?
Bawang Ungu : Jangan-jangan….. ah….
Bawang Putih : Tuan Putri suka kepada Permadi, ya?
Prameswari : Iya, wahai para Bawang. Sebenarnya aku juga menaruh hati kepadanya. Ia pemuda yang baik, ramah, dan halus tutur katanya. Namun, sayang dia belum memeluk agama Islam. Aku sering berdoa semoga Allah memberikan hidayah kepadanya agar menikmati indahnya Islam.
Bawang Bombay: Jangan bersedih, Tuan Putri! Kata orang-orang bijak, kalau jodoh tak akan kemana larinya. Ingkang sabar nggih.
Prameswari : Duh, para Bawang, hatiku terasa sesak. Seolah-olah ada gunung yang ditimpakan di atas dadaku. Lihatlah senja semakin beranjak menuju malam. Lingsir wengi, atiku sansaya nelangsa.
Bawang Ungu : Daripada hati bergalau tak menentu, lebih baik kita menonton anak-anak yang menari dan menyanyi di sana itu, Tuan Putri.
Prameswari : Iya, para Bawang. Mari kita menghibur diri dengan tarian dan nyanyian.
(Prameswari dan para Bawang meninggalkan panggung)
***
BABAK 2
***
Prabu Prajaka beserta pasukannya bergerak ke arah Demak. Mereka akan menyerang Demak habis-habisan. Pasukan Prabu Prajaka dipimpin oleh ketiga senopati andalannya, yaitu Senopati Banyak Sendok, Senopati Gajah Mabur, dan Senopati Semut Jlitheng.
(Prabu Prajaka, Patih Sulindra, para senopati [Banyak Sendok, Gajah Mabur, Semut Jlitheng], dan para prajurit masuk ke panggung menunggang kuda diiringi instrumen lagu Jawa “Jaranan”)
Prabu Prajaka : Pasukanku! Di depan sana pasukan Demak sudah menghadang! Seranglah mereka dengan segenap kemampuan kalian. Banyak Sendok!
Banyak Sendok : Sendika Dhawuh, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Kamu atur pasukan di sebelah kiri. Gempur habis-habisan pasukan Demak dari kiri.
Banyak Sendok : Siap laksanakan, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Semut Jlitheng!
Semut Jlitheng : Sendika Dhawuh, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Kamu atur pasukan di sebelah kanan. Gempur habis-habisan pasukan Demak dari kanan.
Semut Jlitheng! : Siap laksanakan, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Gajah Mabur! Gajah Mabur!
Gajah Mabur : Nggih… nggih… kula Gajah Mabur, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Kamu pimpin pasukan di tengah. Bersamaku nanti menggempur pasukan inti Demak.
Gajah Mabur : Nggih… nggih… siap laksanakan, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Paman Patih Sulindra!
Patih Sulindra : Kula, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Paman Patih tetaplah selalu di sampingku!
Patih Sulindra : Sendika Dhawuh, Gusti Prabu!
Gajah Mabur : Eh, lihat siapa itu, ada orang yang datang ke sini menunggang kuda?
(Permadi datang menunggang kuda, memutari pasukan, kemudian memarkir kudanya. Permadi menghadap kepada ayahnya)
Permadi : Sembah bekti, Rama Prabu.
Prabu Prajaka : Iya, putraku. Ada apa kamu menyusulku kemari? Kamu berdiamlah di kraton untuk menjaga kraton.
Permadi : Rama, maafkan putramu ini. Rama, aku ingin Rama menghentikan rencana penyerangan ke Demak.
Prabu Prajaka : Hah? Tidak bisa, Permadi. Aku tidak akan hidup tenang selama Demak masih berdiri.
Permadi : Tapi, apa salah Demak sehingga kita harus menyerang mereka, Rama Prabu?
Prabu Prajaka : Mereka semakin hari semakin maju. Mereka juga menyebarkan agama baru. Itu kesalahan mereka. Kerajaan kita terancam dengan keberadaan mereka.
Permadi : Tapi, Rama Prabu, bukankah selama ini Demak tidak pernah mengusik kita.
Prabu Prajaka : Sudahlah, Permadi. Kembalilah ke kraton. Aku tetap akan melanjutkan penyerangan ke Demak. Keputusanku ini tidak bisa diganggu gugat. Kembalilah, Permadi!
(Prabu Prajaka beserta pasukannya berangkat melanjutkan perjalanan ke Demak)
Permadi : Bagaimana ini? Rama akan menyerang Demak. Kalah atau menang, aku tetap menanggung kekalahan. Jika pasukan Rama yang menang, aku akan kehilangan Prameswari. Tentu ia akan sangat membenciku. Jika Demak yang menang, aku akan kehilangan Rama. Aku harus menghentikan peperangan ini. Aku ingin kerajaan ini bisa hidup berdampingan dengan Demak. Aku mengkhawatirkan keselamatan Prameswari. Aku harus mengabarinya bahwa pasukan ayahku akan menyerang Demak agar ia bisa mempersiapkan diri atau berlindung di tempat aman. Ah, aku akan mengirim pesan bbm kepada Prameswari.
(Permadi mengambil smartphone dan mengetik pesan. Kemudian terdengar suara pesan masuk bbm)
Permadi : Hah? Ternyata Demak juga sudah menyiagakan pasukan? Pasti akan terjadi peperangan besar-besaran. Aku harus menghentikan pertumpahan darah ini.
(Permadi mengambil kudanya dan berangkat menyusul pasukan)
***
BABAK 3
***
Pasukan Demak di bawah pimpinan Senopati Priyambaka sudah bersiaga menyambut pasukan Prabu Prajaka. Mereka tampak sumringah dan penuh semangat. Di sisi lain, pasukan Prabu Prajaka datang dengan segenap kekuatan dan kemampuan. Kedua pasukan pun berhadap-hadapan.
(Pasukan Senopati Priyambaka masuk ke panggung diiringi instrumen musik “Pink Panther” versi original. Pasukan Prabu Prajaka masuk ke panggung diiringi instrumen musik “Pink Panther” versi ska)
Prabu Prajaka : Hei, kowe Senopati Priyambaka! Menyerahlah maka kamu akan aku ampuni!
Priyambaka : Jika tombak sudah berhadapan dengan tombak, pedang berhadapan dengan pedang, pantang untuk mundur dan menyerah. Aku, Senopati Priyambaka akan mempertaruhkan nyawaku untuk membela agama dan negeraku.
Patih Sulindra : Heh, wani kowe? Lunga ning pasar tuku kupat. Majua yen wani, bakal tak sikat.
Priyambaka : Tuku kupat etuk ragi. Ayo maju bakal tak pejahi.
Patih Sulindra : Ayo maju!
Priyambaka : Majua!
Prabu Prajaka : Ayo maju, Paman Patih!
Patih Sulindra : Heh, kula? Ampun kula rumiyin, kula pun sepuh. Prajurit-prajurit yang masih muda ini yang maju duluan.
Priyambaka : Ayo maju!
(Kedua pasukan berperang. Mereka melakukan perang tanding satu per satu. Yang paling terakhir ialah perang tanding antara Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka. Di tengah kecamuknya perang, Permadi datang berusaha menghentikan peperangan. Begitu pula, Prameswari juga datang karena mengkhawatirkan keselamatan ayahnya)
Permadi : Stop… stop… hentikan peperangan!
Prameswari : Hentikan perang. Ayahanda, jangan ada darah tertumpah!
Permadi : Mereka tidak mau berhenti juga. Ah, aku ada ide. (mengeluarkan peci Pembina pramuka dan mengenakannya, kemudian mengambil peluit dan meniupnya) Priiiitt… priiiittt…..
(Seketika kedua pasukan berbaris rapi membentuk dua barisan menghadap ke arah Permadi)
Permadi : Siap, grak! Lencang depan, grak! Tegak, grak! Istirahat di tempat, grak!
Prameswari : Wah, hebat, Kakang Permadi! Mereka langsung berhenti.
Permadi : Iya, gara-gara peluit ini. Ini barang sakti. Sekali ditiup mereka akan menuruti aba-aba. (menghadap ke pasukan) Saya ini mau bicara, kalian tetap saja berperang. Kalau ada orang yang mau bicara mbok didengarkan dulu. Paham?
Pasukan : Siap, nggih!
Permadi : Sekarang saya mau berbincang dengan Prameswari, kalian diam dulu. Paham?
Pasukan : Siap, nggih!
Prameswari : Mereka menurut, ya, Kakang Permadi?
Permadi : Iya. Itu tandanya mereka dahulu ikut Pramuka. Kalau anggota Pramuka itu mendengar suara peluit langsung berkumpul. Mereka disiplin. Begini-begini, saya ini juga Pembina Pramuka, lho!
Prameswari : Oh, terus sekarang bagaimana, Kakang Permadi? Akankah mereka akan berhenti berperang?
Permadi : Ayahku sudah bertekad akan menggulung pasukan Demak. Begitu pula, ayahmu tentu akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan Demak. Prameswari, jika peperangan ini tetap berlanjut, mungkin aku akan terbunuh. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi, aku ingin membacakan sebuah puisi untukmu. Dengarkanlah, Prameswari!
Prameswari : Iya, aku dengarkan, Kakang!
Permadi : Aku ingin. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.[2]
Prameswari : Hatiku trenyuh mendengarkannya, Kakang! Sekarang mari kita bujuk mereka agar menghentikan peperangan.
Permadi : (menghadap ke arah Prabu Prajaka) Rama Prabu! Tolong hentikan peperangan, Rama!
Prabu Prajaka : Tidak, putraku! Perang tidak bisa dihentikan sampai salah satu dari kami mati.
Permadi : Rama Prabu, tidakkah perang ini sia-sia? Menang jadi arang kalah jadi abu-abu. Perang ini hanya akan mengakibatkan penderitaan dan kesedihan, Rama.
Prabu Prajaka : Tidak, Permadi. Demak berusaha menguasai Tanah Jawa. Mereka juga menyebarkan agama baru kepada rakyat. Itu pengaruh yang buruk.
Permadi : Rama, apakah penganut agama baru itu akan Rama perangi semua?
Prabu Prajaka : Iya. Akan aku perangi semua.
Permadi : Termasuk aku, Rama?
Prabu Prajaka : Iya, eh, eh, kamu, Permadi? Maksudmu apa?
Permadi : Dengarkan aku, Rama! Aku menyadari bahwa agama yang disebarkan oleh Demak adalah agama yang baik. Aku menyadari bahwa kemajuan Demak dan kesejahteraan rakyat Demak yang semakin meningkat tak bisa lepas dari ajaran agama yang mereka anut. Agama mereka mengajarkan kebaikan dan tolong-menolong sesame. Maka aku pun mulai tertarik hingga aku mengikuti agama mereka, Rama.
Prabu Prajaka : Benarkah? Kamu membuatku bingung, Permadi!
Permadi : Jika Rama ingin memerangi semua penganut agama baru itu, maka Rama juga akan memerangi aku.
Prabu Prajaka : Tentu tidak, putraku! Bagaiamana mungkin seoang ayah akan memerangi anaknya.
Permadi : Satu hal lagi yang mau aku sampaikan, Rama.
Prabu Prajaka : Apa itu, putraku?
Permadi : Rama, sebenarnya putramu ini sedang jatuh cinta dengan gadis yang cantik jelita dan berbudi luhur. Ketahuilah, Rama, bahwa gadis itu adalah Prameswari, putri dari Senopati Priyambaka.
Prabu Prajaka & Senopati Priyambaka : Apa?!
Para prajurit Prabu Prajaka : Apa?!
Para prajurit Senopati Priyambaka : Apa?!
Permadi : Setelah Rama mengetahui aku memeluk agama baru itu dan aku mencintai putri dari Senopati Priyambaak, apakah Rama akan membenciku? Apakah Rama akan membinasakanku bersama pasukan Demak ini?
Prabu Prajaka : Oh, putraku. Engkau putraku satu-satunya. Rama tak pernah mengira engkau akan memeluk agama baru itu. Juga, tak mengira kamu mencintai putri dari Senopati Demak itu. Rama tak akan membencimu. Kini Rama sadar, selama ini Rama dihinggapi kebencian kepada Demak tanpa alasan yang jelas.
Permadi : Jika demikian, bukankah peperangan tidak perlu dilanjutkan, Rama. Karena peperangan hanya menghasilkan luka dan tangis.
Prabu Prajaka : Iya, putraku. Rama akan hentikan peperangan. Lagipula, engkau mencintai putri Senopati Priyambaka. Rama tidak ingin membuatmu bersedih. Rama tentu akan merestui engkau untuk menikah dengan putri dari Senopati Demak itu.
Prabu Prajaka : (kepada Senopati Priyamabaka) Putraku sudah membukakan mataku. Sekarang aku tak ingin melanjutkan serangan ke Demak. Bahkan, aku ingin menikahkan putraku dengan gadis yang dicintainya, yaitu putrimu, Senopati! Bagaimana tanggapanmu?
Priyambaka : Syukur Alhamdulillah. Itu adalah tawaran yang tak bisa saya tolak. Dengan menikahkan putramu dengan putriku, berarti kita menyatukan dua insan yang saling mencinta. Lebih dari itu, kita juga menyambung tali persatuan antara kerajaan kita.
(Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka berjabat tangan diikuti para prajurit diiringi dengan irama musik shalawatan. Panggung ditutup.
***
[1] Kutipan dari novel Romeo Juliet karya Shakespeare
[2] Kutipan puisi “Aku Ingin” dalam Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
*) Naskah drama ini dipentaskan dalam Gebyar Seni Islam & Budaya Insan Sukoharjo, pada tanggal 1 November 2014 di Alun-alun Kota Sukoharjo.
Cuplikan pementasan drama
~ GALERI FOTO ~
0 komentar:
Post a Comment