Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, June 21, 2016

Pentingnya Rekonstruksi Sejarah dan Kebudayaan Islam

Gambar ilustrasi: www.kiblat.net

Saya merasa prihatin dengan kurangnya minat umat Islam di Indonesia, khususnya para sejarawan dan dai/ulama dalam mempelajari dan mengkaji sejarah dan kebudayaaan Islam di Indonesia. Hanya sedikit orang yang memiliki perhatian yang mendalam terhadap sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia. Pada abad ini, ada nama Hamka yang sangat peduli dengan sejarah umat Islam hingga ia menulis buku berjudul Sejarah Umat Islam. Api Sejarah yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara juga menjadi salah satu buku sejarah yang patut ditelaah. Abdul Hadi W.M., seorang budayawan dan sastrawan juga seorang tokoh yang menyerukan pentingnya penggalian sejarah, khususnya sejarah umat Islam.


Buku Sejarah Umat Islam karya Hamka
Dalam esainya berjudul “Iqbal dan Renaisans Asia”, Abdul Hadi W.M. memaparkan pemikiran Muhammad Iqbal. Esai tersebut terkumpul bersama puluhan esai lain dalam bukunya yang berjudul Cakrawala Budaya Islam (IRCiSoD, 2016). Salah satu penjabarannya mengungkapkan pentingnya rekonstruksi sejarah dan kebudayaan Islam dalam rangka mengenal Diri atau Pribadi umat yang bisa menghantarkan kepada kejayaan umat. Berikut ini saya kutipkan langsung tulisan tentang masalah tersebut yang terdapat pada halaman 149-151.

Dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Iqbal menyebut pentingnya pengalaman dan kesadaran sejarah, di samping eksplorasi pengalaman empiris dan rasional. Tanpa kesadaran dan pengetahuan sejarah, yaitu sejarah Islam secara umum, dan sejarah Islam di tanah airnya, eksistensi umat Islam tidak mempunyai landasan yang kuat dalam kehidupan politik dan kultural di negerinya yang pada masa modern ini, didominasi oleh pengetahuan sejarah dan ideologi Eropa. Penulisan sejarah-sejarah bangsa-bangsa berkembang hanya memakai seumber Eropa dan meletakkan hanya bangsa Eropa yang unggul dalam segala lapangan kehidupan.

Lembaga pendidikan kita dijejali pengetahuan bahwa yang mengembangkan sains, filsafat, seni, dan sastra hanyalah bangsa Eropa yang berakar dari tradisi Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Kita bisa membaca bahwa sejarah sains dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Pythagoras dann Archimedes pada abad ke-3 atau 4 SM, kemudian melompat jauh ke zaman Galileo dan Copernicus. Di situ tergambar seolah-olah bangsa Asia dan orang Islam tidak pernah mengembangkan sains, walaupun dalam kenyataan banyak ilmu-ilmu modern, seperti kimia, matematik, optik, astronomi, botani, metalurgi, fisika, dan lain-lain, sebelum dikembangkan bangsa Eropa telah dikembangkan di Tiongkok, India, Persia, dan Arab Islam sampai ke tingkat tinggi.


Buku Cakrawala Budaya Islam karya Abdul Hadi W.M.

Kita juga bisa membaca sejarah filsafat yang dimulai dengan Socrates, Plato, Aristoteles, dan Plotinus di Yunani pada abad ke-3 dan 2 SM, lalu melompat ke Thomas Aquinas, Roger Bacon, Descartes, dan lain-lain di Eropa pada abad ke-15 dan 17 M. Seolah-olah selama belasan abad sebelum munculnya zaman Scholastic, Renaisans dan Humanistik di Eropa, filsafat dalam bentuknya yang sistematis dan sophisticated tidak pernah dikembangkan oleh orang-orang Hindu, Cina, dan Islam. Padahal kita mengenal sederet nama dari tradisi Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, IbnTaimiyah, al-Biruni, Ibn Khaldun, Umar Khayyam, dan nama-nama cemerlang yang lain dalam lapangan sains dan falsafah.

Umat yang tidak memiliki kesadaran sejarah, dan merasa tidak memiliki sejarah, dengan mudah dapat dipinggirkan. Ia tidak memiliki dasar yang kuat bagi eksistensi kultural dan politiknya, terutama di dunia modern. Orang Indian di Amerika merupakan contoh yang menonjol, begitu juga penduduk pribumi Australia yang disebut Aborigin. Mereka tidak mempunyai sejarah tertulis dan oleh sebab itu hak hidup mereka mudah dipangkas dan kepemilikan atas tanah airnya dipandang sebagai suatu yang ganjil.

Umat Islam di Indonesia hampir mengalami nasib yang sama. Agama dan kebudayaannya, khazanah intelektual dan sumbangannya kepada perjuangan bangsa, dianggap lebih asing dibanding kebudayaan Eropa yang baru berkembang satu setengah abad yang lalu. Karena itu, tidak mengherankan apabila bukan saja pada zaman kolonial, tetapi sejak awal kemerdekaan, melalui zaman Orde Lama dan Orde Baru, umat Islam mudah menjadi bulan-bulanan peminggiran dan dengan cara yang keji dipojokkan terus-menerus. Ia menjadi warna negara kelas dua yang hak asasinya boleh dikesampingkan, karena dikhawatirkan mengancam demokrasi dan kemajuan, serta perkembangan ekonomi.

 

Ahli-ahli sejarah dan kebudayan Eropa selalu menanamkan kesadaran kepada kita bahwa sejarah dan kebudayaan Indonesia ialah sejarah peradadan Hindu dan Eropa, sedangkan sumbangan dan peranan Islam yang besar dikesampingkan secara sistematis. Demikianlah, walaupun umat Islam mayorita dilihat dari jumlah penganutnya, tetapi minoritas dalam buku sejarah dan politik, minoritas dalam ekonomi, perdagangan, dan kebudayaan. Gambaran keliru bahwa Indonesia merupakan negeri berkebudayaan Hindu digembar-gemborkan sampai saat ini, dan setiap usaha menghidupkan kebudayaan Islam dan sejarah Islam dinilai sebagai penentangan terhadap keabsahan dan kemapanan ilmu yang dikonstruksi dan dikemas oleh cara pandang sekuler bangsa penjajah.

Karena itu, selain kesadaran sejarah, kita memerlukan konstruksi pengetahuan baru, di mana khazanah dan sejarah Islam mesti diberi tempat sewajarnya. Begitu pula penekanan harus diberikan terutama kepada watak universal ajarannya.



***
(Yogyakarta, 22 Juni 2016)



0 komentar:

Post a Comment